Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Senja Yang Lupa Merindu

Setelah sisa-sisa kemarin berlalu
:jelaga lirihmu di telaga ishtarku
melewati musim
meninggalkan irisan wajah gerhana
dalam ketelanjangan misteri
dan rahasia kasih

Getar halimun sebelum prahara menderap, kulihat
matahari menghitam dengan keberdayaan lemah
wajah senja lelah dan dahaga di tanah basah
serta anak-anak hujan menari dikepala
dengan denyar jantung berkeringat
menoreh kelopak bulan yang sujud
:memohon

Anginpun menukilkan putikmu dengan kerinduan
menembus julang jarak ruang dan waktu
yang terpaku di tembok-tembok tua
menitikan lembayungnya membentang lazuardi
sebab penantian mengelukan jiwa

Kita lukis kembali nabastala
menarik sauhnya menuju gugusan
kecapi garam bahari
saling memandang kedalaman diri
sambil mengeja rahasia-rahasia hati
dengan tatapan ganjil
namun jauh dari huru-hara kefanaan
tempat kematian memeluk kehidupan

Dari Langit Yang Menjadikanku Hujan

Memandang dengan tatapan ganjil
pada jejak kisah mencari wujud mimpi
dahaga dengan secawan anggur
menelan duka berlaksa noktah

Geliat rahim aksara penuh hasrat
ketika gagak mematuk gemintang
gigil bersama musim gerhana berkabut

Wahai, rindu yang kemana
di pematang kutitip berlaksa kata
agar angin mengirisnya di ujung purnama
hingga jua ia rasa

Lelaki Hujan

Dari langit yang menjadikanku gerimis
kala senja memeras kerinduan
dan gairah cinta
lalu membakar malam dengan hujan
membinasakan waktu dan ruang

Kerinduan

Hujan merangkul gelap
lekuk malam tak bersekat
angin kental berjingkat
rindu berdenyar gagap

Hujan Petang

Senja melarut basah
burung-burung pulang
kembali pada malam mematuk gemintang
bersetubuh lengang dan pengang

Kotaku

Ada sesak di sini
nafas pribumi
:tuan rumah tanah yang asing
perut mengais tumpukan sampah

Membakar Malam

Boleh saja kulipat malam
selipkannya disenta jendela
agar burung-burung bersarang
mematukinya dengan paruh fajar
:surya kembali membakar

Kepada (Jam Dinding)

Malam terajam dilegam waktu
kelopak-kelopak bunga mekar
dari urat nadi yang terpenggal
seperti rela dengan lambaian lalu
menarik sauh menuju segala gugusan
melayati jazirah dengan sayap-sayap mega

Dan derit detak samsara
mengirim sebuah pembunuhan pada gemintang
:menembus ruang waktu
serpihkan dingin dengan segala tarian
menggalah dinding-dinding malam
merebut kehendak purbani
namun hanya ada ratap dan doa-doa

Seperti Kita (Yang Pernah Mati)

Bagai bocah bertelanjang dada memanja hujan
berebut mainan putik-putik bunga matahari
sebelum tanda mendung menggelegar badai
:biaskan titian sinar pelangi impian
dengan menyihir candu-candu di tangan

Bicaralah
dan tertawalah semaunya
atau setidaknya marah
saat kuajak kamu ke awan hitam
bubuhi bintang jadikan hiasan legam

Seperti cinta yang tak perlu mimpi-mimpi
seperti janji yang tak butuh berlaksa kata
seperti api yang tak padam oleh air
seperti apa sajalah
ketika sakit hilang puaskan dahaga keinginan
seperti kita yang pernah mati

Masihkah (Rin)

Rin,
Masihkah ingat pada tapal senja yang lirih
ketika kita memecah tembok-tembok pengertian
mengiris airmata dan keringat dalam kecupan dikening
serta menanaknya dengan ikatan batin terdalam

Masihkah ada gugur dedaunan menghitung jejak waktu
ketika senyummu menyeka pundakku dari cambukan matahari
ketika wangi tubuhmu menunggu pulangku dari mendulang hari
ketika malam-malam kita genangi dengan aroma gelora kasih
lalu memanja pada gemintang yang tak lelah mengintip
dan semburat purnama mendulang gairah pada jiwa

Lihatlah, rin
Bukankah kita telah membaca ikrar dengan berlaksa aksara hati
meski tepar arungi gemunung serta lembah-lembah
:membelah langit dan samudera
menampar-nampar wajah waktu tetap sadar
memastikan sauh biduk tak sia berlalu

Wilapa

AKU BERBELASUNGKAWA ATAS KEBOHONGAN YANG KAU DERITA
SERTA KETAKLUKKAN BISU YANG KAU SANGGAH
IBAKU BERCUCURAN DAN MEMBATU KRISTAL
:sia-sia kucoba
MEMBAKAR KELEMAHANMU YANG BERTAHAN
NAMUN INI TELAH MENGUAKKAN SELUBUNG TIRAI DI MATAKU
Berhati-hatilah dalam keheningan malam yang mewujud batu

Kesekian Kalinya (Untukmu Ayunda)

Ini jiwa mengurai rasa yang terbentang masa
mangasah naluri dalam rahasia dan misteri cinta
susuri bahari menunggang angin yang memisau
kayuh nestapa menitikan buihnya ke tepian
:gugah raga di tanah penuh kelengangan
lalu membangun pualam cinta yang tak jua purna

Setelah kaki beranjak menjemput hasrat akan mimpi
sepi masih berjelaga menyulam gigil puing-puing malam
warnai lazuardi dengan ceceran rindu yang bersarang
di setiap ruas waktu dan ruang

Ini kali semburat senja tak mampu kukanvaskan
sebab langit basah di teluh berlaksa aksara luka
ketika dahaga jiwa menujahkan amarah
lembayungnya menikam dengan mendung
:berlumur jelaga di kabut prahara

Pada setiap lantang jejak surya
pada detak hitungan purnama
pada hati yang bersarang di bibir angin
menampar-nampar rindang kerinduan

Kau Mabukkan ku

Cahya bulan sabit
seperti ingin menjelaskan
:di antara alis matamu yang rimbun
ada jurang cekung yang menganga
mungkin titian tak kan pernah tercipta dari bahasa
namun semerbak mabuknya akan anggur pada sebuah musim
membuat kita tak perduli lagi pada kata-kata

Lirih

Surya berkabut hujan yang mengepung
runtuh menjadi kata-kata
secawan anggur menyisakan dingin yang mengendap
ketika salju menanam jejak dan langit merendah
menggores sejumlah tempat serta nama
dalam dinding-dinding pengap

Gempita amunisi serdadu rindu
patah di lembah-lembah ngarai
menapaki puncak gunung memanggil badai
pungut dedaunan gugur dalam liang tak bernisan
terjungkal merajam nganga luka hingga musim berkejaran

Seperti Wajahmu

Air laut menguap
lalu menjelma segumpal mega
terapung diatas pegunungan
dan lembah ngarai
hingga jumpa angin sepoi basah
jatuh ke tiap hela jantung sepiku
lalu bergabung bersama aliran anak-anak sungai
kembali sesakkan pikirku

Asmara Yin Yang

Ada segumpal hati kian tak mengerti
akan tangisan malam
kala hati terpaut karena sayang dan cinta
tak mampu jua jiwa menjauh
jika ada beda
itu anugrah
jika ada sama
itu cinta
karena mungkin
malam memang tercipta karena siang

Rindu Tak Bertepi

Mendengar lamat suara gerimis bertandang
pada malam-malam yang tujahkan rindu
mengheret pada getar samar meraba lengang
hanya kesenyapan ada dari sesuatu tentangmu
hening
sunyi

Lalu angin membawa sapa di ujung retina
sedingin cadas bongkahan salju di menara eyre
:bisu memisau
kelu tanpa basa-basi kata
serta pergi menyisahkan tanya

Lebay

Di kelopak hatimu
tersemayamkan segalaku
tak tersisa
meski setitik zarah
pada setiap hitungan senja tertinggal
kukumpulkan rindu dalam jilidan purnama
hingga musim kembali
bersama mengayuh cinta

Satu Cinta (One Love - Bob Marley)

Jika saja bisa lebih sadar diri
akan anugerah kasih sayangNYA pada semesta isi
menghargai manusia lainnya
seperti mencintai dan mengasihi diri sendiri
cukuplah satu cinta dari secuil hati
untuk hidup indah dalam kebersamaan cinta di bumi

Renungan Hidup

Hati terdenyar dari lembar masa lalu
menjadi ego dalam lukamu
masih mengulum patahan lara
bukan menggurui diam dan lalu membiarkannya
tapi samsara waktu dalam hidup seperti anugerah fajar
dengan sabar merekahkan surya
lalu duduk berpulang di petang senja
dengan sejumput bekal
serta malam menjadi ranjang perjamuan untuk esok kembali
Semesta adalah berkah untuk hidup dan kehidupan yang panjang

Dongeng Maya

Pintalan kisah membentang cakrawala
bertabur dari pintu-pintu layar maya
gemetar jemari saling menari sengit
meretaskan kata berjelaga keringat belantara
suruk dari ranjang altar dongeng-dongeng purba
kala kesunyian di tikam mendung senjakala
lalu beranak pinak kesah rindu dendam
memungut embun di dinding-dinding malam
hingga fajar menggusur gemintang

Dongeng Para Dewa

Badai erebus menilin ringkihnya biduk
terpasung sauh terhempas karang angkuh
nyalang gorgon merubah serpihan salju menjadi batu
sang eros berlari telanjang memungut luka busur di tangan
sementara di bibir pantai
aires menggandeng serdadu api menunggu kematian

Hey orfeus!!
Petikkan dawai-dawai liramu
mencairkan prahara sayap-sayap patah
di telinga panglima bernyanyi kidung lirih
mengunyah lara bernanah
atau sulam iramamu dengan harpa berdendang masokis
biar sabit tak menghujam langit yang miris

Monolog Elang

Kau yang berdiri di antara puing-puing
melihat dedaunan dan dedahanan jatuh menjadi kering
bernyanyi kidung absurd dalam lirih kabut kelam
mati puranama dalam ketelanjangan misteri dan rahasia malam

Bawa iramamu dalam gelegar badai prahara
dimana matahari menghitam dgn keberdayaan yang lemah
meluruhkan darah di punggung senja yang terluka
tanah-tanah basah terkuras airmata
kegelapan menari di kepala
jantung berkeringat di kepundan liang
sendiri mengepak kelopak sayap tembang pesakitan

Kutitipkan Pada Angin

Kau takkan jenuh bertandang silih berganti
genangi denyar ruang waktu di setiap aorta
goreskan sejumlah masa yang pernah tercipta
pada bebatuan di kanvas malam
yang terasa masokis dalam kejemuan
memandangnya dari jendela

Maka bawalah lembaran buku hati ini
dengan jemari halus dawai-dawai liramu
kepada ingatannya

Lalu?

Berapa hitungan musim lagi dalam gerhana akan tunai
merubah siang menjadi piatu
dan malam menjadi batu
terbakar matahari
gigil di bawah purnama lirih
ayunda

Lelucon Para Dewa

Aku kan menunggu mu di keabadian
untuk menimbang segala kebenaran rasa

Hey!
Itupun jika Tuhan tidak lebih dulu mengutus malaikat
untuk menendang bokongku untuk menebus dosa

Hey erus!!
Kau harus mengganti semua anak panahmu
dengan sendok dan garpu
agar dewa-dewa tak patah iga oleh pesona afrodit

Sayap-Sayap Kasih

Di bawah langit gelap dan berembun
pada sudut ruang jalanan lengang ku eja tembangmu
:prosesi perjamuan di altar ishtar
goresan tak terhapus dari abad menelan jaman
meski laju peradaban di jinjing reinkarnasi almanak

Derita adam mencari rusuk
adalah anugerah takdir Tuhan
bagi hawa memimpikan teduhan temani adam

Lalu dengan ayat Tuhan pula
kau patahkan sayap-sayap cinta
hingga gelepar terkapar insan
mengheret luka dalam pasungan
hingga membusuk manusia berhati cinta
dalam sekap egomu
antara cinta dan keyakinan kalam Tuhan
untuk pembenaran inginmu

Biarkan cinta untuk cinta
sebab itu yang menghidupkan semesta dunia

(Siti Nurbaya)

Mendung

Bulan berjalan di atas laut

gelombang terus melambai

rasi gemintang menuntun


Kala ku mendongak

langitpun mendung

Kecilku

Kaulah samudera itu

daku sang biduk perahu

tengah mengkayuh jauh



Tenggelamkan rasa

memapah merasuk mesra

di ranting hati bisu

jauh ke dalam dasar samudera

yang adalah KAU

Sendiri Saja

Sendiri
aku berusaha untuk menulis
meski malam bertudung sepi
ketika sebuah keberadaan masa berkumpul
di lindas kekuasaan jemari halus sunyi
dalam sekelumit angin terjemahkan diam
berteriak serak tentang rasa

Sendiri
aku lukis dawai gelombang
yang menghitung detak waktu
mengitari kecipak air di dadamu
membiarkan irama malam mencari nada

Sendiri
memapah benih asa
sepanjang jalan ini
di tanam bunga cahaya
di sambut lagu sunyi
di sepanjang sisi pantai
dan rimba kota-kota

Ku Titipkan

Angin
kau takkan pernah jenuh
memenuhi rentang ruang dan waktu
silih berganti
di setiap denyut aorta
memandangnya dari kisi-kisi jendela

Maka bawalah lembaran buku hati ini
dengan jemari halus dawai liramu
:kepada ingatannya

Sampaikan sayap-sayap embunku
yang selindapkan tipis selendang kabut
di tanah basah cumbui prahara
negeri senja
untukmu

Rumah Badai

Ini rumah penuh duka
cecer jejak darah menikam rasa
jumlahan kelam terendap pendam
seribu kematian tak cukup lampiaskan dendam

Kelam tersimbah resah
karamkan senja layu di bakar bulan
pada apa kau titip asa
jika kabut menirai jalan?

Pasunglah cintamu
irislah hatimu
hempaskan imajimu

Biar jiwa tenang
membisu dalam lengang

Elang (Di Tapal Senja)

Bukan aku mencibir resah ketika seluruh musim menjadi gerhana
membuka lorong waktu yang lengang untuk mengkais hamparan malam bertabur gemintang serta tarian kunang-kunang
lalu membeku mati di ujung jalan dengan rongga kepala penuh luka nanah sebab di hujam rasa jalang
Ataupun mabuk akan remahan anggur di kaki masa muda dan yang berakhir di pangkal masa muda
diam selama setahun dan terkapar untuk selamanya

Cukup sering kumenjala keheningan dari sudut dunia paling sunyi
di antara jamuan huru-hara pesta jaman
Kutemukan hanya suara-suara diri gaduh beradu kejaran
saling membela diri dengan menunggang angin terselip belati
saling merapal berlaksa-laksa mantra membasahi bibir yang duduk di halte kencana
sambil menari bersama tabuh dendang obituari

Aku
kau
dan mereka
hanyalah mimpi-mimpi
berhamburan saling melintasi
dari pintu-pintu langit

Monolog Jiwa

Aku telah mencoba di setiap penginapan
mengetuk berulang semua pintu-pintu
namun tak seorangpun mengindahkanku

Aku merasa luka
bukan lapar
aku merasa kecewa
bukan lelah
aku bukan mencari sebuah atap
tapi perlindungan manusia
sekedar sandarkan kepala

Bahkan seorang gila
akan menemukan diri asing tanpa perlindungan
dan lapar tanpa makanan
sebab hati kemanusiaan yang hampa

Lalu suara keheningan berkata;
“Kekuatan yang melindungi hati dari luka-luka, adalah kekuatan mengawali hati dari pembesaran kebahagiaan, yang di harapkan di dalam diri. Suara nyanyian memang manis, namun nyanyian hati adalah suara dari surga."

Duka Tak Usai Di Palestin

Tik..Tok..Tik..Tok..
Detak pikuk peradaban bumi
melaju keras menggilas nurani
cuaca badai di tanah belahan timur
tak juga membawa pesan sukur

Tik..Tik..Tik..Tok..
Surya langit terselimut abu awan hitam
malam-malam menggelayut beriring ruh-ruh mencekam

Tik..Tik..Tik..Tik..
Penuh sesak udara aroma amis darah
tanah kering menjadi basah
usai gaduh peluru di arena iblis berpesta pora

Tok..Tik..Tik..Tok..
Musnah
Berubah tangis menjadi senjata
terubah harapan menjadi wajah murka

Tik..Tok..Tok..Tok..
Kami mengetuk pintu kebesaranMU
Tuhan

Prahara Anggur

Tenanglah hati
damailah jiwa
mesti prahara menyulut halimun
mengguncang kebun karena mabuk akan anggur
yang berduka
yang nestapa
biaslah hujan beriring surya
warna pelangi mengisi anggur abadi piala cinta

Pada Duka Dan Senyummu

Kala sedu jiwa tak lagi mengaraki air mata
senyum mu pulang pada ketiadaan

Kala gundah hati rebah
pada dinding-dinding rasa
tawa mu pun kembali pada sedia kala

Meninggalkan
Tanpa kata

Berlalu bersama waktu
menyisahkan sembab biru
di keheningan ku

Bisikanmu

Hati tak tenang

bisik 'setan' datang

jiwa terbungkang

mulai diri menggarang

emosi membuncang

dengan istighfar 'kau' ku tendang

Dunia Masa

Merangkak senja merah di kaki cakrawala
burung-burung pulang membawa bijian harapan
duduk berbagi cumbu di rimbun dedahanan
bercerita tentang mengintari rantingranting surya

Berkelang lahan sinar langit tenggelam
menggelarkan tirai makna rahasia kelam
dari bilikbilik kabut embun di lembah lereng temaram
dawaidawai suara unggas bisu pun meriuhkan malam

Sungguh
berganti tumpang tindih gelombang masa menggilas deru
mengibaskan jarumjarum waktu ke labirin hati dan dada
cadas memeras paksa inti airpeluh balung raga
hingga luluh bening airmata doa jatuh di sajadah

Nyanyian Hujan

Senja turun mengganti hari
bersama gelombang angin menggulungi dedaunan
jatuh ke tanah
meliuki ranting-ranting pohon
dan jiwajiwa lelah
merubah lembayung petang
menjadi mendung langit hitam

Hanya sentak amarah gelegar halimun
pelan-pelan menggumam
lalu putik-putik air berlomba laju deras
pada ku yang masih berteduh tegun di teras kealpaan

Harapku

Tak mau lagi gugur mengering bunga impian
merpati pulang dalam layu
dari terbang tinggi menerjang badai di awan

Tak mau lagi lepas dalam pintu langit hitam
mengucap pisah jadikan kisah kenangan kelam

Dalam kesetiaan
ku harapkan seperti dulu

Pesona kasih mesra dalam romansa
bercumbu memadu hati satu rasa
menuai janji gemintang dalam peluk di dada
sehangat pagi cerah

Wajah Rembulan

Kau beri aku malam itu
kala semburat sinar bulan
dan gemintang bermain dengan terangnya
mengalunkan dawai-dawai kasih
mengitari cahaya sebatang lilin
seakan hendak menyinari sendiri
telaga kesedihan di kedalaman matamu

Namun
aku tak dapat tahu
bahwa semuanya akan segera cepat berakhir
dengan hanya menyisahkan seraut wajah pasi rembulan

Hasrat Terjegal

Ketika lumpur menanam tapak
dan langit senja memerah
menggenang jejak yang lewat
sejumlah tempat dan nama

Ketika ragu memasung
dalam cuaca teramat dingin
langkah tersuruk waktu
dan suara tercekik ruang pengap

Aku tak mengundangmu datang
meski rindu akan hasrat
biarlah hanya akan terurai
angan dan perlambang
sambil teriak serak diam-diam

Dari jelagaku
bukit keraguan dan kecemasan
masih dapat ku pandang telaga itu
sebagai tapak dan jejak kesabaran yang sunyi

Dari jelagaku

di altar penyerahan dan peleburan istana ishtar

masih bisa ku kenang penggalannya.


Aku tak mengundangmu datang

meski rindu akan hasrat

biar ku jengkal jarak dan luka antara langit dan bumi

Aku Tak Sendiri, Sebab Sepi Bersamaku

Kesunyian yang di bangun
dari puing-puing tumpukan batu
berlumut di dinding-dinding malam
mengendap pada waktu terus menanjak

Menjulang hitungi jejak
dalam isyarat perjalanan panjang

Gemintang tak tumbuh pada langit kerontang
sedang detak-detik telah lenyap ke balik bumi
hanya unggas-unggas malam saling bermesraan

Terbaca di dada bayu
kebisuan pekat senja merah
dan hujan yang masih basah tertahan
lalu menjadi saksi jalan-jalan berputar
seperti kata-kata
pada malam-malam meregang gigil dan menciut

Tapi surya tetap membara bumi
ketika mayat-mayat tegak dari kematiannya

Semua dalam kesunyian ini
tersusun dari puing reruntuhan
dan kebisuan
lorong-lorong gang
dan ruang tak berujung

Kesunyian menghitam pada patung
dan menjilati kalimat gelap
tapi senantiasa di baca masa
dengan mata gemeretak
memilihku menjadi salah satu dari temannya

Sore Yang Hujan

Senja gemetar mengelus ilalang
di bawah langit kuyup oleh derai hujan
dengan sabar mentari di balik selimut gemawan
kembali ke lain singgasana peraduan

Udara melembab
sisakan kabut di pangkuan tanah basah
untuk menyulam retakan pundi-pundi gelisah
penawar lara yang mengembara
jauh ke ranah berantah

Malam menggeliat
telentangkan dada
berbuih rahimi lautan rasa
menyihirku dalam persekutuan imaji kisah
tentang gugur dedaun
dan bunga karang di musim gerhana

Setelah Kemarin Menguap Dari Endapan Buih

Menjala lembar usang
seluas samudera pada lengkung langit malam
sibak sisa bara tenggelam dalam lucutan lidah surya

Ku rentang tanda pada sebuah bayang
seperti suarmu menampar-nampar pantai
mengawali kegelapan dengan sepotong asa
ke dada malam
lalu menjala gelombang kesedihan
bersarang sejauh perjalanan

Burung-burung malam mematuk bintang
seperti jiwaku ketika mencintaimu
menandur benih gandum di ladang terbakar gerhana
cinta yang membuktikan dengan bahasa airmata

Kemarin

(Tiga Oktober Dua Ribu Sepuluh)

Kita buka kembali dada dalam rangkulan sinar surya
bercengkrama bersama endapan secangkir kopi hangat
dan sebungkus nasi goreng
luruh serta dalam menelanjangi memorial kisah;
Tentang gemerisik angin mengurai titik-titik terlukis kerut di lipatan masa
tentang suka-duka cita silih berganti retas dari kanvas rahim ingatan
tentang segala bahasa kata yang belum sempat tersampaikan.

Lalu aku
kau
dan mereka
menguap dari endapan di jilat lidah samsara
biaskan lelap ketika fajar tak sudi jedah berputar
sambil berucap;
"Mari..! kita reguk nikmat dari secawan piala anggur di genggaman.."

Dan sumringahku masih menahan liur secangkir kopi pahit
yang mulai dingin di tenggorokan

Aku (Bukan) Kau, Ataupun Mereka

Andai tersibak lebih lebar tajamnya retina
akan ku gadaikan denyut jantung
untuk bisa kau sayat dengan ujung bilahnya
yang ruah dari legam bibirmu merupa beling

Agar dapat terlihat jelas gemericik hening
mengaliri anak-anak sungai di setiap labirin
menuju muara
sebab tidak semua laku dan rasa
mampu terbahasakan dengan semesta kata

Biarlah jemari halus kelembutan setiap hela
seirama angin mengelus rukuk ilalang rapuh
di bawah musim
meski senja meregang luka
mencumbu tikaman prahara di bawah surya

Karena tak seorangpun dapat memaksa
arah irama sayap suka-duka cita
ataupun mengeja noktah hitam ceceran uban
di samudera lautan
serta lalu menghitung pasir pantai
dengan menimbang-nimbang andai

Perjalanan

Banyak kalimat sungsang menggelinding di ranjang
hitam-hitam menyelindap pengap dari deretan almanak
gugur dari batangan hari yang mengunyah musim

Ketika dahan patah senggamai jaman di tanah basah
terhempas dalam lumpur debu penuh ular
anginpun menuding desis dengan arak-arakan halimun
saling sambar
gigilkan jisim dalam lamun
yang mengeja pelan judul demi judul kejayaan masa suram
sambil menjilati gerhana diam bersampul senyum

Pundak kelu
berderai peluh merunut abdi
merangkak ulang kembali terjal gemunung
dan mencumbu dinding-dinding sepi
serta tak jarang lembaran terkoyak di terpa ombak
gemetar
nanar
namun tak sudi harap merapuh di tengah belantara kasih
meski senjakala menyisakan luka tertikam prahara

Hipnotis Senyummu

Senyum yang runut dalam tawamu
kental dengan adorasi cinta
seperti candu kanabis melemahkan jiwa
meregangi saraf-saraf sensorik cranium

Gradasi prosesi bagai debur ombak
menggulung dari kejauhan
sebelum memecah pantai kesunyian
menabur buih busa
membelai undakkan pasir

Ku bayang kembara kelana hidup
bak kisah seribu satu malam
di populasikan pangeran
jin
pencuri
dan kau
berada diantaranya
menarikku ke alam mimpi
dan memuntahkan kembali ke bumi

Membunuh Kenang Di Wajah Malam

Kau tahu malam!?
aku pasi mengeja gelisah
atau gemintang yang di telan hujan
menyulam suara-suara bergentayangan
dan bayang-bayang berdiri di tepi ranjang
menadah embunmu dalam tempurung jalang
mengoyak dinding-dindingmu lantang
menjilat mendungmu tak jua hilang
dalam dinginmu kian membekukan

Bedebah kau semesta kata!
satu jiwa mati di tumpukan batu
antara bentang ruang dan waktu

Pergilah!
aku mau luruh dalam hujan
atau badai praha dengan sejuta cabikan
biar patah lembar biduk tanpa nisan
biar remuk hening segumpal darah bernanah
biar luka-luka enggan hengkang kuremah
biar kuhempas semua senja yang lelah

wahai, angin mengeras
tiup daun berserak dari ikatan
hingga ranting jatuh menghujam liang
lelehkan purnama hambur dalam kenangan
serta surya hangus membakarnya



Perempuan Berkerudung Biru Rindu

31 Oktober 2010 jam 15:29
Aku kata kagum garis parasmu,
kelembutan yang tegas akan naluri berbalut kerudung biru dengan rekah senyum serta indah alis mata,
menyimpan bahasa kata seteduh pelangi yang mampu menggusur gundah hari-hari ketika ku melihat portraitmu.

Pernah pula kukatakan pada jurnalmu;
"Beruntung istana kasih yang memiliki kerudung rindu birumu,
sebagai ratu jagat dalam biduk bahtera setia untuk arungi gelombang samudera mahligai kehidupan,
hingga ajal memisah usaikan rentetan cita bersama."

Kau kata kelu benak membisu,
nikmati segantang sunyi cumbui cinta dalam rentang waktu yang lesatkan derai rindu membatu,
dan serta menggelinding sesak di rongga dadamu membentuk candi-candi kejora biru pada hela detak bentangan malam
yang lalu kau bangun dengan asma sejati, ruah dari altar doa-doa.

Perempuan berkerudung biru indah kerinduan.
"Apa arti jarak daratan memisahkan cinta yang hendak menyatukan rasamu, perempuan?" tanyaku padanya kala gerimis senja ini.
"Siapakah yang mampu terbang seperti halilintar kecuali cinta, dimana daratan menjadi sejengkal tanah karena sayap-sayapnya. Jangankan daratan dunia, surgapun dalam sekejap akan di sentuhnya," jawab perempuan yang menerpakan rinduku pada wajahnya bermain dalam benakku.

(31102010)

Rindu Absurd Sang Pecundang

Kelamku tak mampu menjemput niatmu
ke sebuah altar yang belum pernah kita kenal
tempat pengakuan aksamala terbesar akan tergerai

Ketika dogma-dogma selalu menyekat
nada-nada dawai gigilkan lemahku
meski jauh di palung jiwa
kau tergores indah dengan tinta nafas keabadian

Pada jejal-jejal rindu malam
kukais kenang rambati bentangan masa penantian
meracik panjang untaian doa dari serpihan musim
sambil mengidung syair kembara nabastala
hingga samar fajar membias embun
tersadar hanya kisah tertinggal
luka kita sendiri

(05102010)

Bilur Rindu

Ketika derit detak waktu membuka sepi
derap gaungnya memantul antara lawas kelopak almanak
hingga fajar membuka bibirnya demi sambut ciuman surya
jauh membentang batas nirmala yang mampu gigilkan benak
sebab hati pernah di jinjing ke wajah kejora

Senyummu rajam dahaga
dari mentari melangkah pasti kembali bertanya
tentang rasa dan semua waktu
:bening mata hati

Bekal menghitam setelah hari-hari lembam
dari rindu kian bilur oleh dendam
menatap jauh ke alam-alam tanpa batas
memancarkan rindu yang risih

Adakah kau disana menyapa tiap senja yang jelang?
Aku disini memuja sepi yang selalu bertandang
rindu tak berarti apa-apa dalam pertemuan
:sia-sia

Lalu malam menguncup hari
telah ku setubuhi keluh palung hasrat kerinduan
itu lebih getir dari pada melodi absurd apapun
dan aku gelepar di ujung bisu pualam
tercabik ketidak berdayaan

(02102010)

Kidung Bencana

Tanpa daya badai meniup dedaunan gugur dari ranting-ranting kering, merubah waktu menjadi bait-bait syair kembara absurditas batangan hari kelam, menyingkap selimut kabut di jalanan setapak menuju misteri detik-detak kesunyian kisah nyata dan legenda, dengan gemericik genangan rhyme kidung arih lirih dalam asa ruang dada jisim yang fana.

Aku ilalang antara kumpulan bunga ambarukma
di sabana berembun abu dan gemeretak gejolak bah
jilati raut surya bermagut kabut
pilin dentang kelam rembulan emas meringkuk
mencari sejengkal mimpi ishtar
menunggu tak kuasa padu rasa kian laju
menunggu diam dalam gugu termangu


Wajah-wajah mengerang aduh usai badai membantai, kehilangan harta dan separuh jiwa bergelimpangan tanpa nisan, antara puing-puing berserakan di bawah kelepak burung-burung bangkai menyalang tubuh ringkih membusung kelaparan dan genangan air mata.

Oh Tuhan
kasih sayangMu dalam ujian tanpa ijazah
di jiwa kami yang masih kering dan gelisah
dari lumpur hati dengan debu-debu kenistaan
mengapa tak KAU pindahkan bencana semesta
ke kota tempat segala macam murka


Angin datang dari penjuru mengetuk-ketuk hati luruh sebab runut dalam ruah doa-doa dan kata sederhana untuk mengurai misteri dan rahasia hidup.Dari renung gemunung dan lembah-lembah mengucap "Selamat jalan saudaraku, Tuhan mengasihimu".

30 Oktober 2010

Nyaris Di Rengkuh Kematian

Jemari cahaya itu kembali jelang
tanpa ketuk salam membawa kemana terbang
hingga gelepar kapar sukma meregang
antara julur selang botol-botol infus
di tubuh tengah meradang
dan aroma farmasi ruang

Sekian kalinya jemari halus itu nyaris merenggut
menderai airmata cinta saling bergantian jatuh
tunggui ringkih jisim bertarung maut
sambil memainkan lembaran kisah kebersamaan
yang tertinggal dalam rentang ruang waktu

Tentulah sang penjemput janji pasti tak salah daftar
meski tak jarang pula kembali sebab dari suri
bukan!
bukan untuk kufuri nikmat anugerahNYA
namun lebih mensyukuri pertanda ke Maha-an
kala maut bertandang
serta ampunan setelah kematianku datang
Robbul'adzhim

(27112010)

Kau Aku

Dirimu lah syair pelita
tertulis di tebing batu
kelupas isi nalarku
mengunyah dendam
guyuri lintang nirmala
gelinding dalam hening

Aku runut sepi
eja gugur buram almanak
pada sketsa wajahmu
merupa butiran pasir
renteti lembaran nafas

Pasir dan batu
hujamkan kidung absurd
menujah purnama
tiada beda
tenggelam ke cangkir kopi
serta berbatangan kretekku

(24112010)

Mencandu Perjalanan Rindu

Aku melihat impian di tiduri hasrat tiada rupa
berbelit kusut berlumur dahaga jelaga tak berhumus
ketika rindu mencumbu hari tiraikan logika
saling kais berburu curi geliat lompatan waktu

Dari produk cinta yang merahimi rasa
silih berganti mengeja gelombang hati
terkadang hempas libas karang mencari tepi
sambil menjabar 'sayang' yang jenuh memaruh senyum

Lalu aku mencandu pada bait-bait sunyi
tentang riuh rendah ruang hampa tak tertata
penuh serpihan akan gairah wajahmu terserak di lantai hati
pada tiap gugur detak-detik samsara ku punguti
dalam koper bingkai lukisan puzzle yang kau bawa pergi

(23112010)

Menyusuri Lengang Wajahmu

Perubahan Anda sudah disimpan.
Sebentang jalanan lengang
garis pualam telanjang lantang
memagut raut purnama basah
sembab sebab gerimis menggugah

Di dalamnya
ingatku masih membekal
melintang rentet bayang ruang
pada hati tunggal
serta impian fatal

Dindin-dinding malam runtuh
runut ke ranjang tidur
dari lembaran terbakar hari
merupa gapura tadah hati
sambil menghempas tanya
tanpa jawab sepatah kata

(08102010)

Ilalang dan Alap-Alap

Ilalang berpeluh menadah ketuk nabastala
pada hamparan sabana kering menuai putik kasih
yang memagut hela nafas memanggil-manggil hujan

Seekor alap-alap terbang lewati lereng gemunung
membelah gelombang samudera dan aral ngelayung
sendiri susuri pematang-pematang sunyi
bertandang ke padang ilalang

Rayu prahara datang dari beranda mana
sebab nyalangnya murka tak bermata
meski fajar belum purna menutup hari
diantara dahaga hati tersemat abstrak
bingkai bentangan ruang
diantara gugur dahaga bunga alap-alap
hinggap mengecup dengan mataair

Di rentang malam ilalang benderang oleh kekunang
ketika alap-alap mulai hilang ingatan
bisik ilalang selindap ke paruh alap-alap
sambil menari dendangkan hymne sepi ;
"Mari kita nikmati keteduhan makam sambil meludahi hati"

Setelah fajar menggusur gemintang
dan purnama hampir purna
siang mengabarkan alap-alap terpanggang
di dinding malam dengan luka sayat oleh bibir ilalang

Sementara ilalang tetap menari sambil mengheret peti
seringaikan musim gerhana dengan aroma putiknya
dalam sekali waktu silih berganti

(22102010)

Semesta Kata Dalam Ruang 'Bla'

Aku tak paham banyak tentang sastra
berkata tentang bla-bla-bla
yang bukan sengaja ku tulis tanpa majas
seperti melukis di tumpukan berpasir

Aku tak paham kata serapah
bercerita tentang bla-bla-bla
yang kau sebut bahasa sampah orang malas
seperti berputar di dunia malang si pandir

Di ruang penuh bla-bla-bla
Berkata tentang banyak bla-bla-bla

Pengembaraan ke semesta benda berwujud kata bla-bla-bla
bersenandung kebebasan rasa dengan bla-bla-bla
mengalir dari getar jiwa yang kadang terasa bla-bla-bla
susuri anak-anak sungai menuju samudera penuh bla-bla-bla

Di ruang penuh bla-bla-bla
Berkata tentang banyak bla-bla-bla

Aku kau dan mereka
Tanpa tatap mata
tak perlu menujah tudingan kata
apalagi dengan bahasa serapah

Mari nikmati saja
sambil belajar penuh pengertian kata
akan rasa bla-bla-bla

Aksara Di Ujung Nawala

Ketika jemari halus sang waktu memanggil jiwa
pada reguk akhir pundi-pundi lembaran kembara
jangan goreskan setumpuk ngelangut di pusara
sebab ratapmu merupa warastra yang mematah
derai riak anak-anak sungai menuju samudera
di bawah lengkung cahya nabastala lazuardi

Biar kepurnaan membuka baru goresan nawala
menjadi saksi sebuah kembara melintas mimpi
mengurai anugerah di pintu cakrawala
meniti titah sawantah dalam cakra manggilingan
di tengah riuh angin yang menyelindap sepi

Dan ia menjemputku dengan derit kerandanya
kembali ke altar pangkuan malam yang bening
mendulang getar debar dalam sajadah hening

Aku, Kau dan Mereka (Diantara)

Akupun merasakan kesendirianmu
Namun, apakah kau tahu?
aku mencari keindahan dan harapan-harapan
pada hamparan kerlap gemintang
pada hembus semerbak putik-putik bunga
pada derai hamparan sepi membatu

Misteri dan rahasiaku
adalah sayap-sayap kesendirian
menyelami dalamnya lautan
yang begitu banyak merahimi permata impian

Ketika membuncah keinginan untuk menari
aku bertandang pada purnama malam
lalu mendekap sebuah bintang
ku rangkai menjadi secanting cahaya
untuk dirimu
dan mereka

(05102010)

Lirih

Adalah malam di taburi kerlap gemintang
dengan hati tunggal dan impian sakral

Dari udara lembab di lembah ngarai
memuting hingga ke langit pucat pasi
lalu jiwa menembangi dawai lirih

Cinta yang begitu singkat dari relung suara
menggaung serak dalam rongga cermin tua
namun begitu lama untuk melekanginya
sebab malam-malam tanpa batas
dan waktu-waktu melilit dada
membakar hari dengan menumbalkan pengorbanan

Embun jatuh ke rerumputan
terbawa angin membisiki dedaunan pohon yang memutih

Meluka kesendirian
dalam duka yang ditinggalkan

Keheninganmu

Aku suka memandang diammu
di antara bayang dan ruang
lalu mendengarkan dari kejauhan
dengan suara yang tak bisa menjangkaumu

Pandanganmu yang terbang menjauh
dengan mulut terbungkam
sebab aku membungkuk untuk menciummu

Sama halnya dengan semesta benda mengisi jiwa
kau datang untuk memenuhinya

Seperti keindahan kekupu datang di awal mimpi
kaulah kata-kata dalam kemurungan jiwa

Aku suka keheninganmu
seperti kesederhanaan kerlip gemintang jauh
dalam kesunyian malam
serta sekelumit kata cukup untuk membuat tersenyum
dengan keyakinan bahwa kau akan datang

Syukur Atas Hari Yang KAU Beri

Masa-masa ku lalui
dalam nakhoda belahan jiwa
silih berganti mengecupi suka-duka
mendulang limpahan nikmat
dari pintu-pintu langit ku dapat

Yaa ‘Alimun
upayaku mencapai ridhoMu
belum sebanding dengan nikmatMu

Yaa Samii’un
tetesan rindu dan cintaku
masih tercecer di duniaku

Yaa Rabbii
ijinkan syukur ini menggenangi rasa
menggetar dalam hening denyut aorta
dalam doa-doa
:berilah rahmat kala maut bertandang
serta ampunan setelah maut datang

Kerinduan Sahabat

Indah jemarimu tembangkan irama kehangatan
jumlahan rahim kata menari jejaki lembaran
berpinak dalam kanvas bercatra pelangi
sejukkan dinding-dinding hati penuh cita kasih

Kau sentuh labirin rasa yang kusimpan rapi
dengan halaman-halaman syair dan puisi
melukis nirmala dalam jilidan buku hati
agar di waktu-waktu sempit
dapat ku eja indahnya kembali

Ah, masa mencanduiku;
pada larik nyanyian heningmu
pada lentik tarian jemarimu
pada rangkaian bait-baitmu
Setiap lembar kenangan itu
Kan tersimpan rapi dalam relung hati

Wandira

Aku mengenalmu
berkesah dengan diri penuh luka
merupa kelam wajah-wajah gerhana
menjadi musim yang kau cumbu dalam samsara

Kau mengaduh
pelaminan rusuk setubuhi keranda teduh
di pekat purnama yang mencabik rasa
dalam derai rahim mandul
menari dan bernyanyi sederas serapah irama gagak
bertengger sungsang di dedahanan beringin

Perahu bidukmu
Nakhoda tua pecinta bunga-bunga duniawi
berpetualang melayari samudera laut
dengan hembusan jemari angin yang selipkan mata belati
menghunus nafas jantungmu
menggenangi ceceran darah kau jilati sendiri

Wandira
Perempuan Ensefalitis berteduh di beringin makam
menyilet diri dengan sayap-sayap cinta

Matikan jiwa
mengembarakan sukma di musim-musim gerhana

Ode Memori

Kita bercengkrama sua
kelu kesah dan tawa dalam asa
takdir menggiring saling berteduh
kemudian kita berucap selamat tinggal

Telah jauh ku tapaki seluruh kegelapan
sebab jejak kasihmu terkuas di kanvas kesepianku
lalu menyulamnya dari serpihan-serpihan tertinggal

Siapa akan mendengar gema cerita yang pernah tergoreskan?
Biarlah berdering keras dalam hati
hingga terungkap dalam kenangan

Lihatlah burung-burung yang berkelebat
membelah bayang-bayang awan di langit
dan ku letakkan sejumlah kenang impian
serta mendulang esok yang akan datang

Larik harmoni melingkar serta tumbuh dalam hati
selama kita masih mengenangnya

Meskipun kau pergi
aku percaya
bahwa kau masih bisa memanggil jelas nama ku

Suar Untukmu

Kau kembali mengajak tapaki lembaran jalan
menjala kita pada mana alur tumpukan

Dalam setia tak bersekat sudut
aku berdiri jejaki rerumput
meninjau saujana nirmala
ke semesta benda

Kunyalakan suar lentera
pada kayuhmu berdendang irama
menampar-nampar laut
yang tak selalu berbuih putih
tergores pada pantai malam keabadian

Itulah morse cinta yang ku persilahkan
merajut lembaran soneta di kanvas senja
membuka lagi dada untuk kau kuaskan
dan kau cium tiap rantingnya

Ketika hanya ada sunyi
pernah ku mohon pada lembaran buku;
kata dalam bahasa terjembatani
tidak hendak mengenakan sampul dalam jilid
tidak merupa serigala
atau angsa yang merona dahan pipimu

Topeng

Kemunafikan dan kepalsuan
tak kan mengubah diri menjadi kebenaran
sekalipun di warnai
dan di jubahkan oleh sutera
dalam istana megah

Penipuan takkan jera
menikam duri-duri paku
meski ia menyentuh
dengan gemulai manis kelembutan nan syahdu

Keserakahan mustahil menjelma kepuasan batin
yang mengisi sumur jiwa
meski gunung-gunung angkuh seluruh dunia
menutupi ke dalaman samudera

Ketika Kau Bertanya

Aku belajar mengeja semesta benda
setubuhi rahim kata-kata
beranak pinak dari tumbukan rasa
sejak tumpah gulana di tanah basah
lahirkan lembaran hymne bisu
pada masa merupa batu

Kau masih bertanya;
tentang hening yang ku cacah sebagai perjamuan
tentang halus tak menjamah tepian
tentang bara tak tergantikan
Apa lagi hendak ku aduhkan..?

PUING


  I/
Separuh bening wajah langit retak lelehkan hujan
menyapa kebun yang jenuh pada tanah meratap

Melewati kangkangan samsara duduk berdinding pengasingan
merenungi ratapan angin dan rintihan musim demi musim
dari jendela ke batas lembah-lembah ngarai;
tumpukan-tumpukan batu
serta reranting pohon tanpa daun terberai badai
menjelma jumlahan luka tanpa basuh
menusuk
serta angin mengeras

II/
Purnama luruhkan kabut di tanah basah
menyapu detak detik kebersamaan gugur dalam kesunyian
Dingin mengundang kelebat baying
mencibir dari birunya lautan
duduk merelung di sebuah pilar pualam
melepas pandang reruntuhan istana
ku bangun dengan tetes peluh dan airmata;

"Inilah sisa-sisa abadi untuk dapat kau pahami ;
tempat ku curahkan segala daya kelemahan
merengkuh terang cahya gemintang,
tempat ku lukiskan pemahaman akan segala kehidupan,
ketika bidadara-bidadari bergembira menari
dan bernyanyi irama kasih dan kerinduan,
meski manusia mendengar serta melihat tembang hymneku.
Dan pada sang waktu
yang begitu culah melebur remehkan segala usaha,
kutenggelamkan kekosongan
sisakan zarah cinta untukku.
Namun jauh di palung altar hati,
kan ku bangun perjamuan ishtar oleh kesucian abadi.
Serta mengeja kebijaksanaan dan kekuatan
dari kelemahan sejumlah kesalahan."

Malampun pulang menunggang angin
dengan lembaran buku hati ke pintu fajar
Rebahkan layang di pinggang bulan



Merajam Lirih

Ada noktah menghitam di dada surya seperti hari kemarin
terperangkap pucuk daun di dahan yang tinggi

Merupa tiang layar
menggoda angin yang tak berhembus

Aku telah berdiri di sini
sebelum derai hujan mengguyur bumi
dengan dunia yang memutar benak
pada masa mengitari
serta berharap ini untuk di akhiri
bukan hanya untuk merajam lirih

Seperti paus biru terdampar oleh air surut di musim semi
seperti unggas terbang terjerat jaring laba-laba
seperti raja buta yang jalang tertidur pulas di tahta keemasan
seperti burung camar yang patah pundaknya

Akulah sesuatu yang terperangkap
di dinding karang tinggi pada keluasan samudera
namun itulah jiwaku yang sedang merajai lirih

01:48 *

Ada banyak kata tercurah
di antara mulut-mulut kita kian berbusa
mengasah gairah hangat untuk retaskan dingin
dengan riang buatan yang selimuti samsara penuh kegelisahan

Di sini
selembar tembikar lesehan
menjadi saksi dinginnya dada malam puncak gundaling
mencurahkan luka-luka merah jingga
bersama tumpah embun yang mencubit sumsum
ketika rajuk petang menderaikan deras hujan dalam perjalanan
serta lalu menyisahkan kabut tebal
di balik selimut tebal ranjang-ranjang mimpi.

* Berastagi

Hujan Sehari Diujung Jalan

Matahari berdiri telanjang
enggan cemerlang di buru hujan
hingga senja berupa luka suram
menggigili rerumputan dan ilalang

Luas wajah malam
tak menyisahkan sepotong bulan
hanya pekat endap berkabut menggelayut
di jalanan basah menikam kelaparan

BANGKU DI BATAS SENJA

I/
Kelusuhan rautnya di batas senja
gigili hampa ketika hujan panjang tak jua reda
tumbuh cendawan dan lumut yang lepuhi tubuh mendulang masa
menggores batu-batu di dinding malam dengan airmata
pada lembaran kisah romansa
merajut rasa
menguntai kalung asa
selimuti kesucian hati dengan tulus ikhlas setia
(18.08.2010)
II/
Mengulum senyum rahasia luka dukacita
ketika orang-orang bertandang sandarkan lelah
bersenandung puisi dan syair cinta melankolis
ataupun masokis
bertaburkan gemintang kedamaian yang manis

Panas surya lepuhkan dingin malam mengabut dalam sepi
meniti serpihan titik-titik hati di pintu nabastala
menyimpan rahasia suci pengharapan sendiri
di tanah keterasingan denyut aorta

Kering dalam kebasahan peluh yang mengarca di bibir telaga senja
berupaya melekangi rentang jarak dan samsara masa
(27.08.2010)
III/
Masih mengarca jisim kala malam telentangkan kabut menyepi
meski perjalanan menghitungi ceceran waktu
menudingkan lembar berjumpalitan di buku hati
lalu memunguti satu persatu ribuan belatung rindu
irama tarian dan nyanyian yang tak jua purna di dasar jelaga

Hasrat pada tiap jengkal pori di cumbu pelangi
mengirim bidadara-bidadari keindahan nirmala raya
namun seraut sederhana itu pula tanpa di nyana
menepiskan kembali pada sebuah pilar telaga
menyuluhkan secanting lilin pada seraut wajah
dalam palung hati bersama angin di ujung retina

(06.09.2010)

Sembelit Bulan Dan Gemintang

Beberapa benih gemintang tumbuh di biji kepala

polos serupa luas malam dengan purnama hampir sempurna



Serta lalu langit berubah merah

menahan serdadu gemawan bertandang

mencubit malam bermain di rahim lautan dengan gelombang

merubah raut karang jadi sempoyongan

usai terguyur segentong anggur dalam rinai deraian hujan



Namun gemintang tak jua retas susuri masa

radangi alur aorta menyauh pada tepi pantai yang entah



Titah-titah kudus di kunyah

ketika ayat-ayat cinta ruah

tubuh tergetar gemetar

silih berganti halimun berpendar

menyulut angin yang tunggangi segala

pada lorong-lorong masa di dada senja



Gemintang sungsang dalam janin

musim-musim menjadi sumbing

bulan bening pun teriris

laut menjadi sesak di himpit langit

Belantara Akasia

I/
Cawan musim tumpahkan anggur untuk di reguk masa
ketika dedaunan gugur dari reranting kering tertiup angin
antara tembok-tembok langit di pintu senja

Pertikaian yang tak pernah terjembatani bahasa kata
merahimi musim lirih lebih perih dari perpisahan dengan rasa
atau selamat tinggal kepada segala yang kasat mata

Ranjang Ishtar hangus terbakar waktu
hasratmu bergelora di belahan bumi tak bersauh
sedang kesabaranku tertimbun di jalanan bersalju
dalam bisu sekeras batu
(15092010)

II/
Pergantian musim seperti cermin menelanjangi masa
bergeser dalam lingkar ruang tak berpintu dan berjendela
Ketika melupakan taman nirwana
sejak pertama luka tertorehkan
hingga mengalir lara di sungai deras memanjati bebukitan
telaga tempat mengguyur diri serta minum sepuasnya
sambil mengheret duka sebagai kegembiraan

Namun sisa cahya lukisan padam di jilat dingin kabut bisu
tinggalkan gumpalan gelap kehijauan
di tumpukan berbatu

Darah menggigil dingin yang kebaskan rasa
ketika serpihan cawan menyulam wajah
hadir setiap kejap retina
menunggang sepi tersumpal di rongga dada
(16092010)


III/
Tak inginku menjadi semakin gila
tanpa elusan tanganmu di dada
meski sedang bernyanyi bersama angin
berteriak pada pucuk dedaunan akasia
serta terkulai di belukar musim yang dingin
sebab lelah menyusuri jejak matahari
di bawah bagian langit yang retak menganga

Untukmu Ayunda;
Biar detak detik duka cita ku genang
di menara kesendirian dari air
meracik punggung senja yang tertikam punggungnya
mengendapkan darah dalam segentong getir
lalu ku reguk sebagai lentera melintasi lautan rasa
membelah jalanan setapak yang bersalju di belantaranya
agar ku temukan arti paling dalam
kesendirian dan ketiadaan hadirmu
(16.09.2010)

Di Ujung Sabit Pasi

Kulihat bulan sabit memucat
ketika gerimis turun merinai pelataran

Bayu masih menari berayun
dingin bernyanyi menghadang bayang
pada reranting telaga

Malam yang jauh
perlahan serpih tertimbun
di bilik sunyi
ketika langit menggusur riuh gemintang

Ucapmu mengingatkanku pada mercusuar
tempat camar dan burung hantu
pernah membenturkan diri

Kata-katamu mengenangku
pada lembah-lembah ngarai
dan dinding-dinding karang berbatu
jalan-jalan setapak melingkar
dalam belantara hutan akasia

Bulan sabit semakin pasi
kabut kian menebal
dan cahya secanting lilin
lamat tersumbat

Namun masih ku kenang ingat
keluhanmu yang menggenang
membangun menara kesendirian dari pasir
dalam derasnya hujan

(12092010)

Siangmu Ayunda

Ingin ku seka peluh di keningmu
ketika angin menebar tandurkan
biji-biji ilalang di ladang yang berkeringat

Kita harus tekun bercocok tanam
sebab ranah tak lagi begitu ramah
sejak Tuhan marah pada kakek-nenek moyang kita

Musim-musimpun cemberut
menghukum dengan gemuruh air bah
serta debu kerontang silih berganti bertandang
dengan onak yang membiak beranak pinak

Ingin ku seka peluh di keningmu
tapi kau hanya menebar senyum
sambil mengulum jagung
dan membiarkan bekas arangnya
tersapu pada punggung lengan

Ayunda
bolehkah aku menciummu
dengan bibir yang tertusuk angin?

(13092010)

Kotaku: Tanah Kelahiranku

Udara di sini tak kukenal lagi aromanya
keringat ladang dan sawah
di cangkul gemuruh mesin pabrik
keluarga tani hilang dari kepul asap periuk kian tercekik

Hijau akar tergusur cakar-cakar beton megah
tanah-tanah leleh oleh panas aspal curah
menggusur pekuburan sejarah

Dengarlah
kotaku tak lagi ramah mengunyah jaman
di dasar malam mencuri dara perawan
menujah bulan terluka
dan membunuh benih di emperan jalan

Oo, dengarlah
serak parau perut si miskin membuncah
dari timbunan sejarah
hangus di lidah bara surya
remuk patah di rajam prahara
lebur di kegelapan masa
beristana pinggiran dan tersisih
oleh keterasingan peradaban


Kotaku, kelam dan dalam




(14092010)

Senja Kala Itu

Pada pagutan jemari terakhir
kita bercerita tentang senja
pada parasmu menyimpan getir
kutemukan lidah-lidah api
menggenggam alam pucat pasi

Pada sandaran terakhir kali
kuceritakan dongeng cakrawala nirmala
agar kau tetap terjaga dalam mimpi
dan jasad kita melebur merenangi dada malam

Mari senja
mari berpeluk setubuh
dengan bulan masih sepotong
sebelum kita temui wajah pagi
telanjang terbangun dari tidur
lalu kita bertemu di hari
dan tanah yang asing

(14202010)

Gerimis Bulan Yang Terbiar

Mata kuyuh, seiris nanar
pipi pasi, cekung gemetar
suara sendu, terjegal gelegar
tubuh ringkih, telentang terlantar
Wajah kekasih cemar
penghuni saling cakar

(15092010)

Drunken Master (Junkies)

Aku menjadi mabuk dalam khayal
akan indah kemanisan anggurmu yang mencuri sadarku
dan kini kutemukan diri tercengkram tangan-tangan gaib itu
mematahkan diriku dengan tajam

Serta telah pula ku hancurkan cawan tempat aku meminum nikmatnya racunmu
yang kini membuatku berada di suatu negeri asing dan membingungkan
di antara hilang ingatan dan kematian

Malam Jalang

Langit pengap
sarat jerit dan keluhan berat
namun hampa suara kidung masih termuat
memenuhi dengan bayang-bayang
jauh tak terlihat
tiada mengindahkan bisik rahasia hati
serta iring-iringan kegelapanpun tak sudi berhenti
dihadapan mimpi-mimpi

Lantas gagap
melukis badai cinta manis madu
dengan derai embun serta kejayaan suram kelabu
sambil mencibir ludah angin tertawa
hilang dalam kabut
yang berdandan keheningan

Akhir Nawala Kasih

Telah lama kupinang sepi
dari sudut-sudut hening dunia paling sunyi
tanpa pamrih menjadi pecundang kerajaan kasih

kusetubuhi rindu membatu di malam-malam nyeri
meniti tapak uraian detak-detik hari
meski gigil dalam pasung impian tak bertepi
kukumpul dawainya menjadi hymne nyanyian hati
kelak jadikan perjamuan di altar suci

namun kau selipkan belati
ketika angin desaukan nadamu ngeri
menghujam karang rindu yang kupatri
lagi
dan lagi
pecah berkali-kali jadi serpih
membuatku telanjang berlumur letih
mengeja dosa sendiri

Irama Kasih

Petikan senar dawai-dawainya
mengalun dari lubuk jiwa
menggores lembah-lembah
mengitari hunjaman surya
di hamparan pasir putih pantai perawan
di pematang sawah kekunang bertarian
di hening hati yang diam

Dengarkan lembut manis nada gaibnya
merupa raga yang terlahir
perhatikan riak irama getarannya
merupa sukma yang mengalir

Lalu dekaplah erat
sayap-sayap tulus dan ikhlas
irama kasihkan membawamu
ke istana cinta nan luas

(15092010)

Telaga Di Ujung Belati

Terjaga dalam malam
setelah kau meninggalkanku
dalam ritual pertikaian seperti biasa

Merupa kata-kata
yang tak lagi berarti apapun

Bagaimana tembikar senja menghantar lelap
ketika kita berucap 'selamatmalam'
lalu meretaskan kesunyian yang kian menebal
dengan pisau di tanganmu

Kita dan mereka
telah meretaki dinding-dinding beningnya hati
hingga menyerpih retaknya oleh belati ego

Segala kepercayaan
telah ku letakkan dalam genggammu

Sebuah alasan
mengapa aku masih bernafas
menghirup sisa cinta kehidupan

Fajarpun datang menyentuh pagiku
dan percaya
dengan membiarkan segala hal yang sama
pasti akan berubah

Katakan padaku
mengapa aku harus berusaha lebih keras
untuk tetap tegak berdiri

Sebab kukira
sayap-sayap kesepian telah merengkuh
mencium serta mengkultuskanku
menjadi salah satu bagiannya

(15092010)

Perjalanan

Biarlah aku tetap menyulam sarang hatimu
di cekungnya mata dengan ratapan gebu yang berdebu
mengeja kesaksian yang memburam
:pengasingan Qais (Majnun)
di puing-puing bangunan belantara pegunungan
pada hamparan ranah jazirah arab

Begitulah dengan berjingkat diam
cinta menikam setiap hela denyut jantungku

Entah berapa jauh lagi putaran musim membeku kelu
dan mengendap dalam telaga
darah yang tetap mengaliri nafas
kekal dalam cawan-cawan menampung kesaksian hijrah
dalam pelarian berikutnya

Hingga perjalanan ini meleleh
dari sketsa lembaran buku hati
dan musim yang bersayap


(11092010)

Roman Picisan

Kan ku daki gunung-gunung
serta lalu mengarungi lautan badai
jika itu dapat membawamu menjadi milikku
untuk menunjukkan
bahwasanya betapa dirimu begitu berarti

Dan dalam keyakinanku
engkaulah perempuan itu
akan membuatku menjadi seorang pria

Telah mencari dan menanti sepanjang hidup
melalui banyak waktu dalam ketersia-siaan
namun kini telah ku temukan dirimu
untuk bersama dalam cerita kisah cinta
yang dapat membukakan mataku pada istana romansa


(10092010)

Di Ujung Purnama

Jauh jisim merengkuh urai bentangan nafas menjejak semesta
merangkaki terjal rindu debu mendulang embun
meriak angin di bawah surya
semai uraian purnama suci
menyuluh denyut penjuru belantara raya

Namun
dahaga merupa butiran pasir belum jua purna
menggelantung di kaki-kaki cakrawala
mengerak masih karang keakuan
buta tulikan sejati pada Sang Maha

Rindu masih teramat haus akan cahya purnama kala
bermunajat dalam sujud di ujung sinarnya
mohon kembali masa bersua cumbu
pada kasih sayang Cinta


(09092010)

Gemerisik Angin Lalu

Suara-suara gaduh penuhi ruang kepala
menggenang menabuh genderang
menggelegak merah
tuding menuding cecerkan magma
tersumpal gumpal dalam rongga dada

Ku raba lembut
dengan tangan-tangan halus kegaiban
mencari pekat kusut
sambil ku tendang-tendang lembaran
yang menjegal berserakan

Satu lembaran nyangsang
di awal hujan ketika langit pesakitan berdendang
menggelantung sungsang
menghunus wajah penuh sembelit
dengan prahara yang menunggang

Sementara lembaran lain
tunggang langgang tertiup angin lepas
menuju belantara-belantara semesta nirmala bebas

(08092010)

Serpih Sayap-Sayap Patah

Menitik tetes-tetes darah
membakar pedih hati
memalingkan wajah dari tidur gelisah
dan berlutut di hadapan altar ishtar
sambil menangis memukul-mukul dada
dalam kebingungan

Tiada pidana lebih berat
ketika diri terperangkap
dalam rengkuhan sayapnya
menahan kecamuk batin berkepanjangan
dengan hati merana
disertai keluhuran budi
menopang pilar-pilar telaga asa

Bersusah payah
tak mampu mencekik kesucian cinta
namun ia tetap menjadi hangat baranya
dalam luka yang meradang

Lalu dari kepundannya
merinaikan embun bersama nanah airmata jelaga
menggenang asa batangan pelangi
yang curah dalam pasi
merengkuh piala istana cinta

(07092010)

Penyair Senja

Kau tenun sahara
dengan reranting kaktus
menyulam gunung salju
di ujung retina

Terjaga dalam gulir embun
hingga ke ubun fajar
serta binasa
di punggung merah senjakala

Kau kecipakkan
senar-senar dawai absurd
antara pekat hujan bersalju
dan harum manis kidung musim
dalam samsara masa

Mengukir nirmala
dari pualam utuh
dan membuatnya gemetar
dalam kepadatannya lazuardi

Kau kuas zohra
tak terpungut dari kelopak cakrawala
dalam ruang angin bersekat sunyi pasi

Mati ketika menyetubuhi rahim kata
beranak pinak dalam prahara musim
terselingkuhi guntingan dalam lipatan waktu

(05092010)

Anak Duka dan Suka

Kami ini roh duka
sedangkan nestapa terlalu mulia
untuk menempati hati yang kerdil

Bila kalian tertawa suka
kami meratap lara

Sedangkan dia yang pernah di tempa bakar
dan di cuci oleh kepedihan airmata sendiri
akan suci lestari

Kalian tak menangkap jeritan kami
sebab kebisingan hiruk-pikuk peradaban hari
telah memekakkan inderamu yang tersumbat
dan mengeras karang oleh zat batu
yang tak perduli akan kebenaran

Tapi dendang lagumu sampai jua kepada malam
yang telah membisikkannya ke dalam hati
dan membukakan sanubari kami

Kami melihatmu dalam cahaya tudingan api
tapi kalian tak melihat kami
sebab di sini
kami berada dalam gelap sudut-sudut ketersisihan
yang menyandang cahya penerang hati

(31082010)

Manusia, Neptunus dan Anak-Anak Perempuan Sang Laut

Tercipta sabda kasih dari palung samudera hati
menyeruak jelma di usung anak-anak peri sang laut
mengaliri simfoni asmaradhana pada karang angkuh diri
luluh lebur ke liang kelam dingin berkabut

~Bidadari menari di pucuk bunga ilalang
padang gersang yang panjang bergelombang
buih debu-debu peradaban
tebal mengheret pecut surya dan bulan yang jalang
dingin telanjang
lepuh gigil hati dalam irama laut kasmaran

~Mengalir anyir darah di atas sanjungan titah negara
jerit mesiu mengoyak udara
menunggang halimun goresi pasir-pasir pantai
terbias gelombang rasa hampa
hilang dalam prahara bernisan masa

Altar perjamuan ishtar mengembun di ranjang-ranjang malam
namun cawan-cawan anggur kering layu dari musim cendawan
anak panah amór patah sungsang di jantung jaman
neptunus dan manusia mendagu langit dan hati saling berkejaran

(04092010)

Demi Masa

Setiap hari di rengkuh dekapnya tangan dan tubuhku
memberi goresan dalam lembaran buku hatiku
singgah kemudian berlalu

Seperti penghuni neraka jahannam
kala kulit
daging
dan belulang di panggangan rajam
lalu kembali rasa itu utuh
untuk sebuah derita yang panjang

Kehidupan yang hidup
adalah berpeluh-peluh dalam mimpi berkepanjangan
kematian adalah awal sejati kehidupan

(03092010)

Senja Dan Malam

Ada tentang yang tersengal di rekahan musim masa
menunggangi angin meliuk pucuk-pucuk akasia menuding cakrawala
berjingkat menyulam jejala halus pada ujung retina
lalu menyelubungi jubah senja menjadi pekat merah

Hening rebah embun di ranjang malam menumpuk
bilur biru terjegal-jegal prahara menelusuk
menyuluh secanting lilin dalam badai suci
menggeliat dari lilit riak rakar-akar hidup yang mengoyak bumi

Jengkalan ruas nestapa menyeruak serpihan hati
terserak di telaga sepi
di gapit pungut tiada tepi
lalu terburai lagi

(02082010)

Hanya Untukmu

Engkau telah ku kasihi
lebih dari ketetapan musim
yang datangnya silih berganti
pada surya yang mendera hari
hingga duduk senja meniti embun malam
merindu bias kembali mentari

Engkau telah ku sayangi
lebih abadi dari goresan candi
pada masa yang tak luntur oleh sepi sendiri
hingga meski tak jua rindu menyua tepi

Engkau sungguh telah ku cintai
dalam segala perih tembang-tembang arih lirih
mengaliri anak-anak sungai
dengan sabar serta ikhlas dalam ikatan satu hati

Tentangmu dan aku

Sungguh engkau telah ada
ketika Adam merasakan sepi sunyi keabadian nirwana
lalu merejam peluh rindu tepisah hawa di dunia

Engkau telah ku rindu cintakan cita
hingga ke setiap alir denyut nadi berhenti mengurai masa

Dan atas segala nama cinta
yang tertabur menembus jantung makna terdalam hidup semesta;
"Sungguh, cinta dan kasihsayang ini memapahku pada realita"


(01082010)

Rahmat dan Kebenaran

RAHMAT ITU ADALAH PUTRI AIR MATA.
DAN KEBENARAN ADALAH PUTRA DARAH.

Merelai Hati

Derai tawa di hati berkabut
luluh jiwa dalam untaian malam
mengadu pada warna bulan larut
menjerit dalam hening mencekam

Jangan matikan asa pada rindu
jika bara masih berdenyut nyala
jangan biarkan hati menunggu
rajanglah rindu menyatu padu
Rasakan mesranya rasa Sang Cipta

(29082010)

Lukisan Senja Yang Tak Usai

Seorang bidadari berjalan membelah ranah keterasingan
mata sayu menjelajah rekah arah tujuan
Ia tempuh
satu jiwa memanggil rindu dalam sepi
satu kehidupan bersumpah sehidup semati
satu nafas satu hati
satu asa dalam merajut lukisan
seribu angin satu tujuan

Seorang lelaki menapak bentang belantara rimba
nafas mendengus endus enigma selembar kanvas
merangkap diri sendiri dalam kabut telaga rasa
selimuti diri bersama debu-debu beringas
namun tetap satu hati
mengikat gores kasih di dahan akasia
ringkih rautnya
pasi jiwanya
bersama tubuhnya terkubur satu bidadari
dalam satu nisan jiwa

Senjakala, sebentang kisah di tapal senja

(29082010)

Hijau Belantara

Di waktu fajar lalu gemerisik burung-burung berlagu ria
bersahutan dawai nyanyian unggas menggiringi bisik kemerduan di pucuk dedaun belantara
dalam raya semesta merupa ke syahduan syair-syair sang pujangga cinta
namun semuanya kini diam menggerang liang akibat hilangnya warna-warna.

(ES-26082010)

Ruang Hampa

Seseorang yang tengah terluka hati
tak kan ada yg menjadikannya penawar
Ketika cinta telah tumbuh dan berkembang

Waktu yang berganti hari adalah kerinduan-kerinduan
dan malam-malamnya hanyalah mengulum dingin sepi

Kau berharap ia dapat merubah pikirannya
namun hari-hari tetap saja terus menguap

Ada banyak tanya berputar-putar di kepala
dan menyesaki dada tentang mengapa ia berlalu

Kau melihat wajahnya di tiap kerumunan
mendengar suaranya
namun kau menolaknya dengan angkuh keheningan

Kau katakan dirimu akan mampu
tapi hatimu mengatakan ini salah

Ruang hampa...
Dimana kita belajar tetap hidup tanpa cinta
Seorang diri dalam ruang hampa, berteman keheningan
Ketika ia telah pergi dan kau menjadi bagian dari akhirnya

(ES-25082010)

Memanah Wajah Purnama

Setiap helai bulu mata gugur merupa serpih menghujam puncak Everest
Setiap airmata ruah merupa bulir tetes embun di danau Eyre
Setiap jengkal dahaga seperti kaktus di bentangan Sahara
perlahan seperti lukacita tersiram secawan cuka

Rasa gigil tersulam menggalah wajah purnama
merajam kelam jelaga tanpa belas kasihan
dahaga kelana perih lirih tak terperikan
menghimpit serpih dinding sunyi
menjadi kidung tembang-tembang pesakitan

Badai kabut menggelayut menggores dengan beling
terhempas remuk kesumat dendam pada malam-malam hening
hingga tetes-tetes merah gemeretak di ujung belati berlumur serapah
menujah hujat ke jantung dada langit dan bumi semesta

Patah burai reranting hati di catra senja
tumpah milyaran bintang di atas nisan mengalir ke liang telaga
merah raut purnama berkafan airmata
muntahi kelam lembaran sungsang kisah luka

Sungguh
duka perih tak jua terperikan
hingga titik tak berkesudahan

(24082010)

Selakon Pentas Malam

Tidakkah kau lihat panggung itu jingga?
Anak-anak membalut lugu dengan keindahan sambil berlomba kejaran menebar pesona iklan-iklan peradaban di iringi tetabuh musik gambus, hingga embun mulai memanggut di jidat-jidat juri dan di sela tepuk sorai pengagum.

Mereka putih dalam mau dan keinginan, jingga.
Engkaulah yang akan menyeduh titik-titik titian tapak pada hela tangis darah dagingmu. Lalu tangannya mengurai sambung untaian dengan goresan takdir dari langit dan bumi.

Lantas, tak sudikah airpeluh melepas jubah perihmu membasuh kerontang dengan menjilati lendir dari kendi-kendi para petualang liar borjuis?
Seberapa panjang dan jauh wewangian yang membungkus raut warna belulangmu, jingga?
Lepaskanlah?!
Cukupkanlah gugur helaian rambutmu di pundak yang sungsang tanpa sujud airmata.
Usaplah perlahan gincumu, jingga.
Basahkanlah dengan ruah doa-doa pada lembar harap baru agar tak sepi liangmu kelak.
Untukmu dan si buah hati.

(ES-23082010)

Serpihan Cermin

Kau terbang
bersama tahta kencanamu
dan menyaksikan hujan menetes dari langit

Setelah membunuh mimpi
yang awalnya kau cari
sambil memecah cermin lain
dan merubah wujudmu

Lalu hanya merenung harap
yang sebenarnya mampu kau raih

Dan mereka
akan mengulum intaian sinis
ketika kau telah mendapatkan dunia

Serta merekalah
yang akan meludahi luka jeritanmu

Ada hal terbaik
yang pernah kau lakukan
dan menjadi milikmu
namun menjadi sesuatu yang telah pergi

(ES-21082010)

Peluh Yang Memerah

Bara air peluhku kering mengerak di pori-pori
yang muntahkan pijar magma ke dada bumi
selepas menggalah sepiring senyum padi
hikmah berpadu tereguk dalam hangat secangkir puisi
di teduh rinai hujan yang bertandang malu-malu

Segala puja-puji asmaMU
atas jalang matahari yang bukakan pintu-pintu langit

(ES-20082010)

Rahasia Hati

Ia lah secawan rasa di piala anggur
Ia lah airmata rindu di dasar telaga
Ia lah cendawan pelangi usai prahara
Ia lah doa-doa hening dalam musim yang tak luntur

(ES-20082010)

Perahu Negeri

Hendak nitip bambu runcing naik perahu ke negeri jiran
anak-anak laskar pelangi angkat sauh sebelum tumbang tiang layar
namun taman rumah penuh kusut kembang layu setaman
sebab dewa dewi masih saja tidur saat pimpinan di atas mimbar

Rawe rawe rantas malang-malang putung yang bukan komunis
untuk pertiwi gemah ripah loh jinawi

ANGKUHMU

Lantang dahan cemara menuding langit
ketika surya peluhkan pundaknya
lalu badai datang menghunus
patah reranting dan akarnya
mencium liang tanah

Dan api pun menelan serpihan bangkainya
menjadi abu yg di sapu angin
Hilang..

(16082010)

Tembang Bandhosa*

Gigil tinta merah di rahim pena urban sang petualang darwin
dari puncak-puncak gunung utara dan akar-akar belantara hijau
menjadi taring-taring industri ahengkara hutan-hutan beton
lalu cairkan lembaran acitya menggandeng peradaban
sembur bisa puja puji iklan berbusa pada suku-suku pedalaman

Mencabiklah taringnya
Merobek
Bopeng catra langit hingga marut wajah-wajah musim
membuncahkan serpihan didih gelombang bahar menjadi bah dan tsunami

Menguap angin yang berbisik tarian pucuk-pucuk dedaunan
pendar mantra-mantra sakral suku pedalaman
retak kerontang wajah bumi
sapu jemaah penjuru airmata jiwa yang tereleminasi
dalam regang raga tembang bandhosa


(ES-11082010)
*Selamatkan Bumi

Kurasuki NamaMu

Basah lidah mencumbu pelan
mesranya rasa merasuki nama
dan tenggelam
dalam rahim harap yang kutelusur
tiap butir lekuk juntaian punggungnya
di ujung jemari

Mendayakan ketelanjangan diri
untai uraian samudera kasih sayang
dalam remang ruang sunyi

Dan kukatup bibir
dengan puji agung seluruh hati
hingga peluh belulang lepuh
meradangi lelah diri
Hening...

ES-12.08.201

Mengunyah Rindu

Aku menganyam mu
melukis di kanvas angin semu
berkuas gulana takdir dan duka airmatamu

(30072010)

Nyeri Ngeri di Puncak Tiang

Ngeriku pada gurat wajah rakyat memucat
rapuh biduk perahu kecil di prahara gelombang masa
merupa magma kepundan merapi yang siap mencuat

(01082010)

ANNISA

Annisa..
Sebulir mataair musim kemarau di bibir pantai
Serpihan anugerah langit yang menelusuk batas makna hidup terurai
mengepakkan sayap-sayap airmata kebebasan di pintu senjakala
melebur duka cita dalam lingkar kodrat dan adat istiadat

Annisa..
Menyatu cita hati dalam biduk sederhana perahu cinta
prahara singgah dan mengoyak cabik layar senyumnya
namun bening mataair tak keruh oleh titik-titik nila
merubah airmata menjadi pilar-pilar karang lantang seluas samudera
pada dinding asa ruang-ruang maktab kebebasan cakrawala dunia

Annisa..
Cahaya pelangi bidadari
Merpati putih surgawi

(07082010)

Bidadari Malam

Bidadari bercatra senja
rona kembarawati sepekat jingga

Lembayungi tetes rinai airmata
di ujung jalan berteduh biru asa

Dulanglah anugerah kisah langit bercerita
menawur jumlahan warna gairah asmara
uraikan gelora amis ranjang duka cita

Bidadari malam menatah hasrat luka
menisir takdir gelombang prahara
yang tak lekang nista di lingkaran masa

(E.S:08082010)

Tembang Sapa*

Prolog:
ketika hari-hari seperti lembaran usang bagi sang pecumbu hening, di bekukannya tinta ke peti hampa, menjauhi warna lingkar melingkar kertas masa, sekedar mencari makna keterasingan jisim di tengah belantara semesta.

Gigil bulir embun menggetar jajar tebing-tebing batu
suruk dari selembar daun jatuh ke pucat bumi
basuh bantala kering yang menjaga brata dinding ruang sunyi

Detak-detik jarum samsara gugur di hamparan ubun fajar
hingga senja menitik hari
lekanglah
lepaskan dahaga
lumat tanah-tanah keterasingan
dalam kendi-kendi gulana

(E.S:06082010)
*Jiwa yang hening.

Sunyi Sepi

Seperti bocah kecil tak berbaju
seperti air menggores batu-batu
seperti unggas sunyi di liang sendu
seperti airmata bernisan rindu
seperti aku tanpa diri mu

(05082010)

AIRIN

Entah berapa lama rasa itu telah ada

namun tak dapat dirimu melihatnya

meski tak pernah pula sekalipun

ku tempatkan dalam titian kata-kata

seperti hening derai salju keabadian

yang mampu sembunyikan kerinduan

dalam rongga musim yang kelu

(E.S)

Merah Gerah Yang Pecah

Amarah menggelegak merah
mengabut diam ruang dada
seperti larva perut merapi
menunggu tanah bumi berguncang

Kala kini santun tak kau hatur lagi
dari lempengan bibir
ceracau tak tentu ritma
lidah mencibir diri pada kebiasaan
mengoyak jala ruang jiwa
yang sendiri tersisihkan

Gerah,
merah pekat menghitam geram

Muntahlah sudah bebatuan api
dari panggangan ruang yang diam
paksa ku hentakkan akar bening rasamu terdalam
pecah bergelindingan amarah
menyapu teduh rumah cengkrama
hingga ruah airmata
tersedak merah kau guncangkan wadahnya

Dan di senja ini
biar kulesatkan menembus ruang luar
menuju awan menguntai kata
dari airmata yang terbuncah

Menitipkan pesan di pintu kerajaan malam;
"Ku mohon, biarlah ini menjadi yang terakhir kali,
kerna setan baru saja bertepuk girang."
Tentu penyesalan adalah cermin dari lembaran yang terkoyak

(ES:04082010/17:15)


.

Blues Pasungan

Robekkan sayap-sayap merpati wahai matahari
rebus dan bakar setengah matang
lalu kirim ke ubun-ubun jantung hamparan rerumputan

Letak ia di dedahan pohon-pohon liar
biar ku utus rubah
ataupun musang menjeput kado itu
untukku

(ES:02082010/15:53)

Dan Aku

Aku bukan penyair
ataupun pujangga
tak guna sunyi ku pelintir
hari malah makin getir

Hujanpun masih mengguyur sedu
selama musim dalam ketetapan
sepanjang pucat lorong waktu
:kami ciptakan

Dan api ini padam, basah
nyala mereda, usailah

Tak guna sepi terlalu ku pelintir
dengan lembaran kata-kata
karena aku bukan pujangga
ataupun penyair
hanya jiwa gundah tersisih
terdorong ke tepi

(ES:02082010)

Kampung Senja

Satu cipta dari reranting hati
diam dalam samadi Illahi

Di sana
dalam sekotak malam

Menitip tembang suka duka anak-anak bumi
;berjibaku pergolakan samudera
dan lautan mimpi
serta atau terjerat prahara samsara hari
lalu mengkais buah di ladang-ladang istana asmaradana hati

Mencoba leburi rasa ke labirin palung sumur-sumur jiwa
menyanyitarikan serunai suara-suara tersisih
meski sebatas nafas tinta virtual dari atas kertas mayapada

Saling berbagi
mengingat geliati samsara ruh semesta bumi

(01082010/14:35)

Abu Abad Dan Api Abadi

Jika bisa kau rasa peluh gulana ini
jangan turuti lemah hati
kelak kan paham jua sejati tubuh rapuhmu

Buang jauh sedu-sedan itu
tegakkan jisim dengan senyum
meski hati merejam luka duka terkulum

Tersenyumlah..!?
tersenyum meski dengan kebencian
yang mewakili suci hatimu

Atau tertawalah..!!
lengking serupa gelegar alam
mengguncang jauh ke dalam indera
dan dada-dada mereka
hingga merekah paksa sejuta hati
dari lelap tidur tradisi
para pengasuh bayi

Gaungkanlah..
gemakan lebih keras kepada langit
tunjuk dan katakan
:inilah airmata darah
dari kesucian hati yang terpasung

Lalu rangkai kepedihan
sebagai jamuan altar nisan jaman
di antara mengering telaga keabadian
:tempat para pengabdi kasih
menaburkan doa dan menziarahi cinta

Balada Para Pengungsi

Di atas Mentawai,
Keindahan padang luas non vulkanik
puncak punggung pegunungan bawah lautku
bergetar garang gelombang palungmu
patahkan papan surfingku di terjang ombak
menelan hilang penghuni peramu dan penjarah tubuh
berumah ratusan kantung-kantung tanpa sukma
merubah kelengangan tanah sunyi yang bukan batu

Di bawah merapi,
kutinggalkan pergumulan luka bentang sabana
di lereng-lereng tempat terpahat mimpi dan peluh
kala cumbu menandur ladang-ladang subur
hingga karam jiwa raga di hamparan kakimu
tak mungkin sembunyi dan terus berlari
beradu laju gejolak kabut gemawan panas
dengan berdebu-debu kereta kencana
mengurai mentari dan embun hari

Di jalan menuju penghujung tahun
tengadahkan tangan merapal airmata raga dan doa
kerna telah lama termaharkan tubuh pertiwi
dengan darah daging bersemayam cita
meski kulayarkan ikhlas segenap rindu
dalam berikat-ikat duka luka
ratusan ribu jiwa kibar bendera eksodus penantian
tuk kembali kerumah-rumah impian
ranah Gemah Ripah Loh Jinawi

Rindu Absurd Pecundang

Kelamku tak mampu menjemput niatmu
ke sebuah altar yang belum pernah kita kenal
tempat pengakuan aksamala terbesar akan tergerai

Namun, dogma-dogma selalu menyekat
nada-nada dawai gigilkan lemahku
meski jauh di palung jiwa
kau tergores indah
dengan tinta nafas keabadian

Pada jejal-jejal rindu malam kukais kenang
rambati bentangan masa penantian
meracik panjang untaian doa dari serpihan musim
sambil mengidung syair kembara nabastala
hingga samar fajar membias embun
tersadar hanya kisah tertinggal
luka kita sendiri

Dunia Masa

Merangkak senja merah di kaki cakrawala
burungburung pulang membawa bebijian harapan
duduk berbagi cumbu di rimbun dedahanan
bercerita tentang mengintari rantingranting surya

Berkelang lahan sinar langit tenggelam
menggelarkan tirai makna rahasia kelam
dari bilikbilik kabut embun di lembah lereng temaram
dawaidawai suara unggas bisu pun meriuhkan malam

Sungguh..!
berganti tumpang-tindih gelombang masa menggilas deru
mengibaskan jarumjarum waktu ke labirin hati dan dada
cadas memeras paksa inti airpeluh balung raga
hingga luluh bening airmata doa jatuh di sajadah


27 Juli 2010 jam 20:53

Nyanyian Hujan

Senja turun mengganti hari
bersama gelombang angin
menggulungi dedaunan jatuh ke tanah
meliuki reranting pohon dan jiwajiwa lelah
merubah lembayung petang menjadi mendung langit hitam

Hanya sentak amarah gelegar halimun
pelan-pelan menggumam
lalu putik-putik air berlomba laju deras
pada ku yang masih berteduh tegun di teras kealpaan


(15 Agustus 2010. 14:25)

Hujan Dalam Bayang

Terkadang ia terlihat berlalu
tidak dengan pandangannya
seakan tidak ingin tahu
dan tidak memperdulikan apapun yang ia rasakan
dan ketika ia kembali dari pergi menjauh
tak satupun yang ia dapatkan

Ia tak mau tahu
dan mengapa pula ia harus pedulikan
ketika ia telah sendiri
dan tak pernah lagi untuk melihatnya

Menangisi dalam rinai bayangan...

Tentang rasa cinta yang pernah ia tahu
namun keberadaannya yang entah dimana
Tentang seorang yang pernah menjadi miliknya
namun nyata kini ia kembali dalam kesendiriannya

Begitu jelas
dapat terlihat di dalam setiap pandangnya

Namun ia tak mau rasakan
pun tak ingin perdulikan suara hatinya

Ya
mereka yang pernah merasakan
apa yang ada di dalam hati mereka
yang terkoyak oleh sebuah perpisahan

By: Mhd.Yusuf 25 Agustus 2010 jam 6:33

Gambar Rembulan

Kau beri aku malam itu
kala semburat sinar bulan
dan gemintang bermain dengan terangnya
mengalunkan dawai-dawai kasih
mengitari cahaya sebatang lilin
lalu seakan hendak menyinari sendiri
telaga kesedihan di kedalaman matamu

Namun
aku tak dapat tahu
bahwa semuanya akan segera cepat berakhir
dengan hanya menyisahkan seraut wajah pasi rembulan


By: Mhd.Yusuf 12 Oktober 2010 jam 0:51

Hasrat Terjegal

Ketika lumpur menanam tapak
dan langit senja memerah
menggenang jejak yang lewat
sejumlah tempat dan nama

Ketika ragu memasung
dalam cuaca yang teramat dingin
langkah tersuruk dalam waktu
dan suara tercekik dalam ruang pengap

Aku tak mengundangmu datang
meski rindu akan hasrat
biarlah hanya akan terurai angan
dan perlambang
sambil teriak serak diam-diam

Dari jelagaku
bukit keraguan dan kecemasan
masih dapat ku pandang lorong-lorong itu
sebagai tapak dan jejak kesabaran yang sunyi

Dari jelagaku
di altar penyerahan dan peleburan istana ishtar
masih bisa ku kenang penggalannya
meski rindu akan hasrat
biar ku jengkal jarak dan luka
antara langit dan bumi

By: Mhd.Yusuf 12 Oktober 2010 jam 0:49

Hujan Sore Di Ujung Jalan

Matahari yang berdiri telanjang
enggan menyalang di buru hujan
hingga senja berupa buram
ggigilkan rerumput dan ilalang

Luas wajah malam
tak sisakan sepotong bulan
hanya endapan pekat kabut
menggelayut di jalanan basah
menikam airmata yang kelaparan

( 20 September 2010)

Sore Yang Hujan

Senja gemetar mengelus ilalang
di bawah langit kuyup oleh derai hujan
dengan sabar mentari di balik selimut gemawan
kembali ke lain singgasana peraduan

Udara melembab
sisakan kabut di pangkuan tanah basah
untuk menyulam retakan pundi-pundi gelisah
penawar lara yang mengembara
jauh ke ranah berantah

Malam menggeliat
telentangkan dada yang berbuih rahimi lautan rasa
menyihirku dalam persekutuan imaji kisah
tentang gugur dedaun dan bunga karang di musim gerhana

11 Oktober 2010 jam 15:33

Setelah Kemarin Menguap Dari Endapan Buih

Menjala lembar usang seluas samudera pada lengkung langit malam
sibak sisa bara yang tenggelam dalam lucutan lidah surya

Ku rentang tanda pada sebuah bayang
seperti suarmu menampar-nampar pantai
yang mengawali kegelapan dengan sepotong asa ke dada malam
lalu menjala gelombang kesedihan bersarang sejauh perjalanan

Burung-burung malam mematuk bintang yang mengawali kerlipnya
seperti jiwaku ketika mencintaimu
menandur benih gandum di ladang yang terbakar gerhana
dan cinta telah membuktikannya dengan bahasa airmata

*T.N
By: Mhd.Yusuf 11 Oktober 2010 jam 15:41

Perjalanan

Banyak kalimat sungsang menggelinding di ranjang
hitam-hitam menyelindap pengap dari deretan almanak
gugur dari batangan hari yang mengunyah musim

Ketika dahan patah senggamai jaman di tanah basah
terhempas dalam lumpur debu penuh ular
anginpun menuding desis dengan arak-arakan halimun
saling sambar
gigilkan jisim dalam lamun
yang mengeja pelan judul demi judul kejayaan masa suram
sambil menjilati gerhana diam bersampul senyum

Pundak kelu
berderai peluh merunut abdi
merangkak ulang kembali terjal gemunung
dan mencumbu dinding-dinding sepi
serta tak jarang lembaran terkoyak di terpa ombak
gemetar
nanar
namun tak sudi harap merapuh di tengah belantara kasih
meski senjakala menyisakan luka tertikam prahara

by: Mhd.Yusuf 15 Oktober 2010 jam 4:04

Pemasung Cinta

Di bawah langit gelap dan berembun
sudut ruang jalanan lengang ku eja tembangmu
notase prosesi perjamuan di altar ishtar
goresan tak terhapus dari abad menelan jaman
meski laju peradaban di jinjing reinkarnasi almanak.

Derita adam mencari rusuk adalah anugerah takdir Tuhan
bagi hawa memimpikan teduhan temani adam.

Lalu dengan ayat Tuhan pula kau patahkan sayap-sayap cinta
hingga gelepar terkapar insan mengheret luka dalam pasung inginmu
hingga membusuk manusia berhati cinta dalam sekap egomu
antara cinta dan keyakinan kalam Tuhan untuk pembenaran inginmu.

Biarkan cinta untuk cinta
sebab itu yang menghidupkan semesta dunia.
(Cukup Siti Nurbaya)

By: Punggawa Cendala

Bilur Rindu

Ketika derit detak waktu membuka sepi
derap gaungnya memantul antara lawas kelopak almanak
hingga fajar membuka bibirnya demi sambut ciuman surya
jauh membentang batas nirmala yang mampu gigilkan benak
sebab hati pernah di jinjing ke wajah kejora


Senyummu rajam dahaga
dari mentari melangkah pasti kembali bertanya
tentang rasa dan semua waktu
:bening mata hati


Bekal menghitam setelah hari-hari lembam
dari rindu kian bilur oleh dendam
menatap jauh ke alam-alam tanpa batas
memancarkan rindu yang risih


Adakah kau disana menyapa tiap senja yang jelang?
Aku disini memuja sepi yang selalu bertandang
rindu tak berarti apa-apa dalam pertemuan
:sia-sia


Seperti wajahmu;
menguap dan menjelma segumpal mega
terapung diatas pegunungan dan lembah ngarai
hingga jumpa angin sepoi basah
jatuh ke tiap hela jantung sepiku
bergabung bersama aliran anak-anak sungai
kembali sesakkan pikirku


Lalu malam menguncup hari
telah ku setubuhi keluh palung hasrat kerinduan
itu lebih getir dari pada melodi absurd apapun
dan aku gelepar di ujung bisu pualam
tercabik ketidak berdayaan

Kau dan Aku (Satu)

Kau dan aku tercatat antara mereka
di berkahi Tuhan berupa teman
dan orang-orang yang di sayangi
 

Adakah antara seorang mereka
dengan akrab dan bergairah
yang dapat kita minta:
“Dapatkah kau menanggung penderitaanku suatu hari nanti..?
Adakah antara mereka yang tahu bahwa di balik nyanyian diri kita
terdapat sebuah lagu tak dapat di suratkan dan dawai yang bisa di atur

Adakah antara mereka yang ingin mengetahui duka cita dari kebahagiaan,
dan kebahagiaan dari pada duka cita kita..?”


(Muhammad Yusuf: Mentajai-03.05.2006)

Aku Tak Sendiri, Sebab Sepi Bersamaku

Kesunyian yang di bangun dari puing-puing tumpukan batu
berlumut di dinding-dinding malam
mengendap pada waktu yang terus menanjak
menjulang hitungi jejak dalam isyarat perjalanan panjang

Gemintang tak tumbuh pada langit kerontang
sedang detak-detik telah lenyap ke balik bumi
hanya ada unggas-unggas malam saling bermesraan

Terbaca di dada bayu
kebisuan pekat senja merah dan hujan masih basah tertahan
lalu menjadi saksi jalan-jalan berputar
seperti kata-kata
pada malam-malam meregang gigil dan menciut


Tapi surya tetap membara bumi
ketika mayat-mayat tegak dari kematiannya


Semua dalam kesunyian ini
tersusun dari puing reruntuhan dan kebisuan pintu-pintu
lorong-lorong gang dan ruang tak berujung


Kesunyian menghitam pada patung dan menjilati kalimat gelap
tapi senantiasa di baca masa dengan matanya gemeretak
memilihku menjadi salah satu dari temannya

(11 Oktober 2010 jam 15:37)

Kidung Bencana (Wasior, Merapi dan Mentawai)


Tanpa daya badai meniup dedaunan gugur dari ranting-ranting kering, merubah waktu menjadi bait-bait syair kembara absurditas batangan hari kelam, menyingkap selimut kabut di jalanan setapak menuju misteri detik-detak kesunyian kisah nyata dan legenda, dengan gemericik genangan rhyme kidung arih lirih dalam asa ruang dada jisim yang fana.

Aku ilalang antara kumpulan bunga ambarukma
di sabana berembun abu dan gemeretak gejolak bah
jilati raut surya bermagut kabut
pilin dentang kelam rembulan emas meringkuk
mencari sejengkal mimpi ishtar
menunggu tak kuasa padu rasa kian laju
menunggu diam dalam gugu termangu

Wajah-wajah mengerang aduh usai badai membantai, kehilangan harta dan separuh jiwa bergelimpangan tanpa nisan, antara puing-puing berserakan di bawah kelepak burung-burung bangkai menyalang tubuh ringkih membusung kelaparan dan genangan air mata.

Oh Tuhan
kasih sayangMu dalam ujian tanpa ijazah
di jiwa kami yang masih kering dan gelisah
dari lumpur hati dengan debu-debu kenistaan
mengapa tak KAU pindahkan bencana semesta
ke kota tempat segala macam murka

Angin datang dari penjuru mengetuk-ketuk hati luruh sebab runut dalam ruah doa-doa dan kata sederhana untuk mengurai misteri dan rahasia hidup.Dari renung gemunung dan lembah-lembah mengucap "Selamat jalan saudaraku, Tuhan mengasihimu".

30 Oktober 2010 jam 19:35

Nyanyian Rindu

Ada gelembung lukisan gemintang tersulam
seperti gapura di tiap sisi ranjang malam
dengan ucapan;
"Selamat Datang Bayangan"

Lalu rebah gembalakan kisah
pada kayuh biduk mimpi
menelusuri anak-anak sungai
hening penuh bebatuan
beradu kejaran dengan dingin
meraba tepian

Lalu ku bisik pada angin
tentang kerinduan;
"Aku suka keheningan ketika sandarmu rebah di dadaku
seperti kesederhanaan kerlip gemintang nun jauh
dalam kesunyian malam,
serta sekelumit kata yang cukup lengkungkan senyum
dengan keyakinan bahwa kau akan pulang"

Rindu Terpanggang Tungku


Musim semi kita gadai ke cawan gerhana
merajang dahaga di altar kata dalam pematang sunyi
lalu menutupnya dengan kunci yang kau bawa pergi
dan memaksa sajak tanak di tungku telaga sepi

Sesekali terbakar jejak oleh paras waktu
melumat eraman hati luber dalam lembaran sendu
cecer menyesak tersedak onak berlumur debu
saat kau bilang;
"Rayulah aku..."

Sejenak kelakar ku seduh puisi semak merindu
ketika putik ilalang di kolong senja menggelinding
gemerincing serupa batu ke ranjang tidur
sambil beronani memanjat dinding-dinding malam
agar dapat memetik bulan dan biru kejora

Belum sempat ku eja kata yang hendak terangkai
bahasamu merah membakar tungku
terpanggang puncak klimaks hingga retak
di kepundan meredam gejolak magma menjadi abu

Dalam hati ku bisik pada jejak belantara dedaun pucuk akasia;
"Pandai kau menjilat rentang jarak dalam gerhana rindu yang ku cumbu,
serta lalu membiar ku mencium kesalahan sendiri"