Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Memanah Wajah Purnama

Setiap helai bulu mata gugur merupa serpih menghujam puncak Everest
Setiap airmata ruah merupa bulir tetes embun di danau Eyre
Setiap jengkal dahaga seperti kaktus di bentangan Sahara
perlahan seperti lukacita tersiram secawan cuka

Rasa gigil tersulam menggalah wajah purnama
merajam kelam jelaga tanpa belas kasihan
dahaga kelana perih lirih tak terperikan
menghimpit serpih dinding sunyi
menjadi kidung tembang-tembang pesakitan

Badai kabut menggelayut menggores dengan beling
terhempas remuk kesumat dendam pada malam-malam hening
hingga tetes-tetes merah gemeretak di ujung belati berlumur serapah
menujah hujat ke jantung dada langit dan bumi semesta

Patah burai reranting hati di catra senja
tumpah milyaran bintang di atas nisan mengalir ke liang telaga
merah raut purnama berkafan airmata
muntahi kelam lembaran sungsang kisah luka

Sungguh
duka perih tak jua terperikan
hingga titik tak berkesudahan

(24082010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar