Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

BANGKU DI BATAS SENJA

I/
Kelusuhan rautnya di batas senja
gigili hampa ketika hujan panjang tak jua reda
tumbuh cendawan dan lumut yang lepuhi tubuh mendulang masa
menggores batu-batu di dinding malam dengan airmata
pada lembaran kisah romansa
merajut rasa
menguntai kalung asa
selimuti kesucian hati dengan tulus ikhlas setia
(18.08.2010)
II/
Mengulum senyum rahasia luka dukacita
ketika orang-orang bertandang sandarkan lelah
bersenandung puisi dan syair cinta melankolis
ataupun masokis
bertaburkan gemintang kedamaian yang manis

Panas surya lepuhkan dingin malam mengabut dalam sepi
meniti serpihan titik-titik hati di pintu nabastala
menyimpan rahasia suci pengharapan sendiri
di tanah keterasingan denyut aorta

Kering dalam kebasahan peluh yang mengarca di bibir telaga senja
berupaya melekangi rentang jarak dan samsara masa
(27.08.2010)
III/
Masih mengarca jisim kala malam telentangkan kabut menyepi
meski perjalanan menghitungi ceceran waktu
menudingkan lembar berjumpalitan di buku hati
lalu memunguti satu persatu ribuan belatung rindu
irama tarian dan nyanyian yang tak jua purna di dasar jelaga

Hasrat pada tiap jengkal pori di cumbu pelangi
mengirim bidadara-bidadari keindahan nirmala raya
namun seraut sederhana itu pula tanpa di nyana
menepiskan kembali pada sebuah pilar telaga
menyuluhkan secanting lilin pada seraut wajah
dalam palung hati bersama angin di ujung retina

(06.09.2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar