Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Perjalanan

Banyak kalimat sungsang menggelinding di ranjang
hitam-hitam menyelindap pengap dari deretan almanak
gugur dari batangan hari yang mengunyah musim

Ketika dahan patah senggamai jaman di tanah basah
terhempas dalam lumpur debu penuh ular
anginpun menuding desis dengan arak-arakan halimun
saling sambar
gigilkan jisim dalam lamun
yang mengeja pelan judul demi judul kejayaan masa suram
sambil menjilati gerhana diam bersampul senyum

Pundak kelu
berderai peluh merunut abdi
merangkak ulang kembali terjal gemunung
dan mencumbu dinding-dinding sepi
serta tak jarang lembaran terkoyak di terpa ombak
gemetar
nanar
namun tak sudi harap merapuh di tengah belantara kasih
meski senjakala menyisakan luka tertikam prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar