Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Ranting Dalam Kembara

I/
Kau dulang di wajah purnama
gelombang airmata menjerangi lautan
menampar-nampar karang angin menunggang
keram dayuh mengelam, lelehmu mangaram

II/
Kayuh geladak berperahu kertas
sambil mereguk bercangkir-cangkir kenang
:kegetiran berampas gulana
menantikan tanak tungku-tungku kembara
menuju kerimbunan sunyi di bibir pantai
berjuntai gerimis yang bercatra

III/
Masih larut kau pinang sepi
belum purna musim tergugah mimpi
di dinding-dinding malam menggores kata
di tebing-tebing gemunung mengiris lara
di telaga ngarai ranting duduk tercenung
merajah berlaksa rindu dendam

IV/
Di netramu hening
lebih setia dari fajar
lebih paham dari airmata
memapah waktu, meski telanjang gemetar
ketika perlahan senja melepaskan kondenya

Kemarin

*Rin

Kelebat rintipan musim pada malam kian tandas
mengeja kenang di atas tanah melintas
tempat memandangi gugus gemintang
ketika keheningan dari balik rimbun akasia
menuntun tubuh saling berpagut ke teras fajar
hingga surya mengusung lembaran samsara
yang melukiskan sketsa ishtar
dengan secanting lilin dipalungnya
kita bingkai dari kesederhanaan kata
:kemarin dalam jaga
Adakah kau masih mengingatnya?

Tabib Poli(Tik)

Dengan lentikan jemari manis
Menuang madu dalam telinga rakyat
Sorak sorai seolah mengisi celah, kelemahan nasional
Suara-suara merajah bermanuver tinggi
Mengalahkan dentuman batu gerinda
Namun terbelalak kebenaran
Tak ada yang lebih mulia
Dibanding teriak katak dalam genangan rawa

Purnama January

Diretinamu
bercucur bulir-bulir mendung
dari gelombang laut
yang memilin gugusan rindu
meraba-raba tepian teduh
untuk membenamkan rasa
dibingkai jelaga
tempat kita berpagut manja

Dipurnama bertandang penuh, kini
tandakan kecupan panjang
pada wajah musim berlalu
meski sukma berkalung airmata
lewati prahara
namun belum purna kita punguti samsara

Selukis Diranjang Malam

Malamku terjaga rimbunnya rajutan gambar wajah
gerayang bayu dari bibir jendela membisikkan suara
yang berkelebat rebahkan lekuk tubuh
menggapura diranjang
lantas kurengkuh dengan rintip doa
dari gugusan samsara
menyematnya pada bingkai keheningan
yang mengecupi pradipta dikening tembikar
sebelum pintu sadar lambaikan sukma
tentang bulir hujan pecah oleh prahara
tentang airmata menyepuh wistara
tentang ketakutan mengobong diseberang
dan kita masih memundak lukisan ishtar
dialtar fajar yang setia

*De2q

Bias Sukma

Pada tangkaimu menari di bayu, kini
mengibaskan rimbun yang sepucat abu
mendaki kembali cekungan mata yang menghitam
bermain bias pesona aksara lazuardi
:rona kenangan
pada tonjolan tulang pipi mengeriput
dalam bingkai sukma

Lalu ujarku kembali dari sisa keheningan;
Aku mengasihi gerimis
bukan dengan mengundang badai
meski halimun sebagai pertanda
akupun mencintai hujan
bukan menggenanginya dengan duka
meski ladangmu menjadi basah
aku mengeja makna adanya
memintal noktah kabutnya dari malam kelam

Maka dengan diamku di batas pengertian
memandang gejolak akhir panggungmu
hilir mudik dari huru-hara bahasa kata
hanya dengan diam
memandang raut terselubung
hingga zirah kau lepaskan
dari bibir merahimi bisu aksara
:untukmu hujan

Serpihan Cermin Gerimis

I/
Rintik gerimis pekat
pecah ditanah tak berjedah
kentalnya menggenangi angin basah
senggamakan rahim tanya, menguliti malam
mengiris dari endapan tungku
dengan dingin yang menghunus

II/
Secanting lilin diseberang ruang
leleh mengerucuti waktu, hampir padam
lingkar api berkabut kemelut
menyulut sketsa senja yang berbenah
ditepian padang
:ilalang menepis mega jingga

III/
Ini kali jilid hati menghujat musim
bukan pada rindang pematang, terjaga pengang
bukan dari arus anak-anak sungai menghilir
bukan pula pada relungnya gemunung

IV/
Getirnya ranting terhimpit langit
saat gugusan hari mengurung dalam gerhana
kusut serpihan cermin luber dibibirmu
mengoyak jiwa hening
:kupinang sebagai pengantin fajar
setelah malam merapikan embun purnama, diwajahmu

Biar II

Biar ku leleh dalam warna langit dan bumi menguncupi samsara
mengeja pesona putik-putik cakrawala dari kelopak dan tangkaimu
semburatkan lembayung nian manja
pada sapa burung-burung melintas serta bersarang dimayapada, mencari bebijian hati

Kan kupandangi pesona masokismu menarikan tembang smaradhana di ladan-ladang hari
mungkin paruh-paruh yang menyulam matahari dan bulan
serta gemintang dari pintu-pintu nabastala
kan menjamu denyar ishtarmu dengan kemanisan sekendi anggur
cerlangkan lengkung bibir, merona merah pipi

Dan biar jelagaku berkerudung hening
merayapi gemunung dan lembah-lembah paling sepi
menggoreskan kenang dengan doa-doa sederhana, pada tebing-tebing batu
Mungkin pula temukan lentera bayu menuntun
melintasi langit dan membelah debaran samudera

Maka, biarkan rahim aksara tak terbitkan kata
sebab bahasa yang sungsang dibibir kita

Anak Kebebasan

Anak sulung kebebasan gigil dibalik pintu
jalanan jadi ranjang menunai mimpi
dengan jantung berkeringat
dan suara menderum gelegar, getir
:tanah memaku dinding-dinding tua purbani

Kawanan rubah memiliki lubang
burung-burung bersarang dinabastala
tapi putra manusia tak punya tempat
untuk sandarkan nyanyian heningnya

Penghuni jumantara bersembunyi
dari balik selubung
dan mendung tebal menenggelamkan
hanya ulurkan suara-suara yang berlompatan
bersama busa dan racun kengerian

Anak kebebasan berjalan sendirian
selemah benang tipis laba-laba
dan ketakutan
dilembah-lembah hantu kematian

Biar

biar retak putik dari kelopak
biar serpih kembang dari duri
biar gemeretak ranting melulu kelu
biar genang kenang terbakar pengertian
biar tepar surya digelombang bahari
biar berdarah purnama ditelaga perawan
biar memisau sepi terkurung rindu, sendiri

Berapa Waktu

Berapa duka menguak pengertian
berapa tawa tercerabut tanpa pujian
dirampat ketam sang waktu bagai binatang buruan