Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Kidung Bencana

Tanpa daya badai meniup dedaunan gugur dari ranting-ranting kering, merubah waktu menjadi bait-bait syair kembara absurditas batangan hari kelam, menyingkap selimut kabut di jalanan setapak menuju misteri detik-detak kesunyian kisah nyata dan legenda, dengan gemericik genangan rhyme kidung arih lirih dalam asa ruang dada jisim yang fana.

Aku ilalang antara kumpulan bunga ambarukma
di sabana berembun abu dan gemeretak gejolak bah
jilati raut surya bermagut kabut
pilin dentang kelam rembulan emas meringkuk
mencari sejengkal mimpi ishtar
menunggu tak kuasa padu rasa kian laju
menunggu diam dalam gugu termangu


Wajah-wajah mengerang aduh usai badai membantai, kehilangan harta dan separuh jiwa bergelimpangan tanpa nisan, antara puing-puing berserakan di bawah kelepak burung-burung bangkai menyalang tubuh ringkih membusung kelaparan dan genangan air mata.

Oh Tuhan
kasih sayangMu dalam ujian tanpa ijazah
di jiwa kami yang masih kering dan gelisah
dari lumpur hati dengan debu-debu kenistaan
mengapa tak KAU pindahkan bencana semesta
ke kota tempat segala macam murka


Angin datang dari penjuru mengetuk-ketuk hati luruh sebab runut dalam ruah doa-doa dan kata sederhana untuk mengurai misteri dan rahasia hidup.Dari renung gemunung dan lembah-lembah mengucap "Selamat jalan saudaraku, Tuhan mengasihimu".

30 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar