Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Elang (Di Tapal Senja)

Bukan aku mencibir resah ketika seluruh musim menjadi gerhana
membuka lorong waktu yang lengang untuk mengkais hamparan malam bertabur gemintang serta tarian kunang-kunang
lalu membeku mati di ujung jalan dengan rongga kepala penuh luka nanah sebab di hujam rasa jalang
Ataupun mabuk akan remahan anggur di kaki masa muda dan yang berakhir di pangkal masa muda
diam selama setahun dan terkapar untuk selamanya

Cukup sering kumenjala keheningan dari sudut dunia paling sunyi
di antara jamuan huru-hara pesta jaman
Kutemukan hanya suara-suara diri gaduh beradu kejaran
saling membela diri dengan menunggang angin terselip belati
saling merapal berlaksa-laksa mantra membasahi bibir yang duduk di halte kencana
sambil menari bersama tabuh dendang obituari

Aku
kau
dan mereka
hanyalah mimpi-mimpi
berhamburan saling melintasi
dari pintu-pintu langit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar