Sekelilingku dalam diam
kata-kata di maktab layu
menyiangi tirusnya kemarau
luruh di batu menghitam
liang yang menjelagai waktu
Tersungkurku dalam diam
sebab laut di dadamu bias
oleh ombak tak bermusabab
lantas pecah menyerpih
terhisap matahari garang
lalu jatuh menghujam tubuhku
masih berpayung airmatamu
Biarku dalam diam
mengeja rela kelembutan yang legam
dengan jantung berdarah
bersama udara yang menua
menyisiri, anginpun mati
(Kesekian kali kau tusuk aku)
Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)
Dua Sisi
Langit merundung tampak keabuan
:pagi bermuram durja
bersama jantung berdetak keras
mata menangkap pesan yang menembus awan dari kejauhan
namun diri masih menolak untuk percaya
benarkah?
Rentet kalimat menyekat aorta
menggumpal di alur arteri
mungkin akan menginfeksi ke relung jiwa
Dalam selembar kisah
sebagai jamuan altar;
dengan tangan kiri menyvlam uluran gemintang
demi kesetiaan fajar menyingkapkan malam
dan tangan kanan merantai braga
dari muasal nafasku terbentuk fana
Lantas diam meraba gigil
menggantungkan satu lagi episode di udara
membiarkan angin merahimi dilema dalam samsara
berpura-pura mengerti yang akan dirasa
hingga retas mentas di detik kenyataan
:pagi bermuram durja
bersama jantung berdetak keras
mata menangkap pesan yang menembus awan dari kejauhan
namun diri masih menolak untuk percaya
benarkah?
Rentet kalimat menyekat aorta
menggumpal di alur arteri
mungkin akan menginfeksi ke relung jiwa
Dalam selembar kisah
sebagai jamuan altar;
dengan tangan kiri menyvlam uluran gemintang
demi kesetiaan fajar menyingkapkan malam
dan tangan kanan merantai braga
dari muasal nafasku terbentuk fana
Lantas diam meraba gigil
menggantungkan satu lagi episode di udara
membiarkan angin merahimi dilema dalam samsara
berpura-pura mengerti yang akan dirasa
hingga retas mentas di detik kenyataan
Di Tuturmu
:Rin
Senja gemetar di ujung dahan
mengalungkan gerimis membatu
Dari bibirmu angin timur tandang
simponikan lirih memilin braga
dengan kata membius sukma
serupa canabis
dudukkan aku pada perahu malam
sambil menjala tanya
hingga kau biaskan ke tepian fajar
Senja gemetar di ujung dahan
mengalungkan gerimis membatu
Dari bibirmu angin timur tandang
simponikan lirih memilin braga
dengan kata membius sukma
serupa canabis
dudukkan aku pada perahu malam
sambil menjala tanya
hingga kau biaskan ke tepian fajar
Senjakala Mendengkur
Rerumput di atas perahu
menarik sauh pada hulu
merayap hilir ke gugus gemintang
dengan sepotong roti dan seloki anggur
sambil mendulang tetes-tetes embun sejati
Akan ada yang datang
di pasang dan surutnya pemberhentian
lalu pergi meninggalkan aroma bayang
Katakan sesiapa tak pernah tersesat
menghitung cabikan di kaki senja
tenggelam beku di rindang malam
antara gempita lintas samsara
lantas menualangi candu keheningan
dan mengurai-urai lumbung aksara
:ranting gemeretak, terbawa angin
dan aku di dalamnya
menarik sauh pada hulu
merayap hilir ke gugus gemintang
dengan sepotong roti dan seloki anggur
sambil mendulang tetes-tetes embun sejati
Akan ada yang datang
di pasang dan surutnya pemberhentian
lalu pergi meninggalkan aroma bayang
Katakan sesiapa tak pernah tersesat
menghitung cabikan di kaki senja
tenggelam beku di rindang malam
antara gempita lintas samsara
lantas menualangi candu keheningan
dan mengurai-urai lumbung aksara
:ranting gemeretak, terbawa angin
dan aku di dalamnya
Langganan:
Postingan (Atom)