Aku takut mencintai dunia
ketika pun telah terlanjur
rapuh jiwa butah arah
O harta, yang menginstankan kepayahan
O tahta, yang menjedakan bilik-bilik kasta
di tanganmu pilar-pilar nadir samsara
O dunia, sarang penuh ular-ular berbisa
Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)