Cawan musim tumpahkan anggur untuk di reguk masa
ketika dedaunan gugur dari reranting kering tertiup angin
antara tembok-tembok langit di pintu senja
Pertikaian yang tak pernah terjembatani bahasa kata
merahimi musim lirih lebih perih dari perpisahan dengan rasa
atau selamat tinggal kepada segala yang kasat mata
Ranjang Ishtar hangus terbakar waktu
hasratmu bergelora di belahan bumi tak bersauh
sedang kesabaranku tertimbun di jalanan bersalju
dalam bisu sekeras batu
(15092010)
II/
Pergantian musim seperti cermin menelanjangi masa
bergeser dalam lingkar ruang tak berpintu dan berjendela
Ketika melupakan taman nirwana
sejak pertama luka tertorehkan
hingga mengalir lara di sungai deras memanjati bebukitan
telaga tempat mengguyur diri serta minum sepuasnya
sambil mengheret duka sebagai kegembiraan
Namun sisa cahya lukisan padam di jilat dingin kabut bisu
tinggalkan gumpalan gelap kehijauan
di tumpukan berbatu
Darah menggigil dingin yang kebaskan rasa
ketika serpihan cawan menyulam wajah
hadir setiap kejap retina
menunggang sepi tersumpal di rongga dada
(16092010)
III/
Tak inginku menjadi semakin gila
tanpa elusan tanganmu di dada
meski sedang bernyanyi bersama angin
berteriak pada pucuk dedaunan akasia
serta terkulai di belukar musim yang dingin
sebab lelah menyusuri jejak matahari
di bawah bagian langit yang retak menganga
Untukmu Ayunda;
Biar detak detik duka cita ku genang
di menara kesendirian dari air
meracik punggung senja yang tertikam punggungnya
mengendapkan darah dalam segentong getir
lalu ku reguk sebagai lentera melintasi lautan rasa
membelah jalanan setapak yang bersalju di belantaranya
agar ku temukan arti paling dalam
kesendirian dan ketiadaan hadirmu (16.09.2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar