Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Nyanyian Rindu

Ada gelembung lukisan gemintang tersulam
seperti gapura di tiap sisi ranjang malam
dengan ucapan;
"Selamat Datang Bayangan"

Lalu rebah gembalakan kisah
pada kayuh biduk mimpi
menelusuri anak-anak sungai
hening penuh bebatuan
beradu kejaran dengan dingin
meraba tepian

Lalu ku bisik pada angin
tentang kerinduan;
"Aku suka keheningan ketika sandarmu rebah di dadaku
seperti kesederhanaan kerlip gemintang nun jauh
dalam kesunyian malam,
serta sekelumit kata yang cukup lengkungkan senyum
dengan keyakinan bahwa kau akan pulang"

Rindu Terpanggang Tungku


Musim semi kita gadai ke cawan gerhana
merajang dahaga di altar kata dalam pematang sunyi
lalu menutupnya dengan kunci yang kau bawa pergi
dan memaksa sajak tanak di tungku telaga sepi

Sesekali terbakar jejak oleh paras waktu
melumat eraman hati luber dalam lembaran sendu
cecer menyesak tersedak onak berlumur debu
saat kau bilang;
"Rayulah aku..."

Sejenak kelakar ku seduh puisi semak merindu
ketika putik ilalang di kolong senja menggelinding
gemerincing serupa batu ke ranjang tidur
sambil beronani memanjat dinding-dinding malam
agar dapat memetik bulan dan biru kejora

Belum sempat ku eja kata yang hendak terangkai
bahasamu merah membakar tungku
terpanggang puncak klimaks hingga retak
di kepundan meredam gejolak magma menjadi abu

Dalam hati ku bisik pada jejak belantara dedaun pucuk akasia;
"Pandai kau menjilat rentang jarak dalam gerhana rindu yang ku cumbu,
serta lalu membiar ku mencium kesalahan sendiri"