Tidakkah kau lihat panggung itu jingga?
Anak-anak membalut lugu dengan keindahan sambil berlomba kejaran menebar pesona iklan-iklan peradaban di iringi tetabuh musik gambus, hingga embun mulai memanggut di jidat-jidat juri dan di sela tepuk sorai pengagum.
Mereka putih dalam mau dan keinginan, jingga.
Engkaulah yang akan menyeduh titik-titik titian tapak pada hela tangis darah dagingmu. Lalu tangannya mengurai sambung untaian dengan goresan takdir dari langit dan bumi.
Lantas, tak sudikah airpeluh melepas jubah perihmu membasuh kerontang dengan menjilati lendir dari kendi-kendi para petualang liar borjuis?
Seberapa panjang dan jauh wewangian yang membungkus raut warna belulangmu, jingga?
Lepaskanlah?!
Cukupkanlah gugur helaian rambutmu di pundak yang sungsang tanpa sujud airmata.
Usaplah perlahan gincumu, jingga.
Basahkanlah dengan ruah doa-doa pada lembar harap baru agar tak sepi liangmu kelak.
Untukmu dan si buah hati.
(ES-23082010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar