Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Aku Tak Sendiri, Sebab Sepi Bersamaku

Kesunyian yang di bangun
dari puing-puing tumpukan batu
berlumut di dinding-dinding malam
mengendap pada waktu terus menanjak

Menjulang hitungi jejak
dalam isyarat perjalanan panjang

Gemintang tak tumbuh pada langit kerontang
sedang detak-detik telah lenyap ke balik bumi
hanya unggas-unggas malam saling bermesraan

Terbaca di dada bayu
kebisuan pekat senja merah
dan hujan yang masih basah tertahan
lalu menjadi saksi jalan-jalan berputar
seperti kata-kata
pada malam-malam meregang gigil dan menciut

Tapi surya tetap membara bumi
ketika mayat-mayat tegak dari kematiannya

Semua dalam kesunyian ini
tersusun dari puing reruntuhan
dan kebisuan
lorong-lorong gang
dan ruang tak berujung

Kesunyian menghitam pada patung
dan menjilati kalimat gelap
tapi senantiasa di baca masa
dengan mata gemeretak
memilihku menjadi salah satu dari temannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar