Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Hanya Ingin Kau tahu


@ : Rina

Aku dan kau tahu
di balik derita akan mendulang bahagia
sebab ku tahu
telah kita warisi padang-padang dari para moyang
sejak terhukum turun ke bumi
dengan berlaksa warna suka duka citanya
agar kau tahu
juga tak sebatas kata-kata
yang melesat-lesat dalam ingatan
keihklasan yang kuberikan



Ramadhan Di Taman-Taman


Ada suka cita
di pematang batu-batu taman
menunggu tetabur
berlaksa embun dahaga
gulir dari rindang tengadah
para handai taulan
bekal penghuni tanah-tanah merah
nuju perjalanan kembali
ke pintu-pintu keabadian

Ranting Patah


Tergulung sauhmu nuju seberang melambai pantai
merajang laut yang kita bekam
:suka-duka cita

Hempaskan layar di ranting, aku
berlaksa gelombang
mengambang tiang sakral hendak terajut
kusut
meski telah kusimpul aral
ketika cemburu kekunang mencuri mimpi-mimpi

Namun kaulubangi dada
menujah berkali dan lagi
hingga mengalirlah
jauh; tak akan pernah kembali lagi

Ketika Tergores

Mendadak
detak nafas diburu detik tertinggal
dalam ruang almanak
yang ringkih pada batas pengertian
memburai simpul
ketika purnama belum purna merapat
seakan lambailah pantai pada hasrat-hasrat

Sepuhlah getir yang singgah
lagi meski kembali
biar berkala laksa duka menguap
mengangkasa
dari palung netra
kembali ke cerlang raut kita