Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Tembang Sapa*

Prolog:
ketika hari-hari seperti lembaran usang bagi sang pecumbu hening, di bekukannya tinta ke peti hampa, menjauhi warna lingkar melingkar kertas masa, sekedar mencari makna keterasingan jisim di tengah belantara semesta.

Gigil bulir embun menggetar jajar tebing-tebing batu
suruk dari selembar daun jatuh ke pucat bumi
basuh bantala kering yang menjaga brata dinding ruang sunyi

Detak-detik jarum samsara gugur di hamparan ubun fajar
hingga senja menitik hari
lekanglah
lepaskan dahaga
lumat tanah-tanah keterasingan
dalam kendi-kendi gulana

(E.S:06082010)
*Jiwa yang hening.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar