Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Di Ujung Sabit Pasi

Kulihat bulan sabit memucat
ketika gerimis turun merinai pelataran

Bayu masih menari berayun
dingin bernyanyi menghadang bayang
pada reranting telaga

Malam yang jauh
perlahan serpih tertimbun
di bilik sunyi
ketika langit menggusur riuh gemintang

Ucapmu mengingatkanku pada mercusuar
tempat camar dan burung hantu
pernah membenturkan diri

Kata-katamu mengenangku
pada lembah-lembah ngarai
dan dinding-dinding karang berbatu
jalan-jalan setapak melingkar
dalam belantara hutan akasia

Bulan sabit semakin pasi
kabut kian menebal
dan cahya secanting lilin
lamat tersumbat

Namun masih ku kenang ingat
keluhanmu yang menggenang
membangun menara kesendirian dari pasir
dalam derasnya hujan

(12092010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar