Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Kemarin

(Tiga Oktober Dua Ribu Sepuluh)

Kita buka kembali dada dalam rangkulan sinar surya
bercengkrama bersama endapan secangkir kopi hangat
dan sebungkus nasi goreng
luruh serta dalam menelanjangi memorial kisah;
Tentang gemerisik angin mengurai titik-titik terlukis kerut di lipatan masa
tentang suka-duka cita silih berganti retas dari kanvas rahim ingatan
tentang segala bahasa kata yang belum sempat tersampaikan.

Lalu aku
kau
dan mereka
menguap dari endapan di jilat lidah samsara
biaskan lelap ketika fajar tak sudi jedah berputar
sambil berucap;
"Mari..! kita reguk nikmat dari secawan piala anggur di genggaman.."

Dan sumringahku masih menahan liur secangkir kopi pahit
yang mulai dingin di tenggorokan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar