Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Bilur Rindu

Ketika derit detak waktu membuka sepi
derap gaungnya memantul antara lawas kelopak almanak
hingga fajar membuka bibirnya demi sambut ciuman surya
jauh membentang batas nirmala yang mampu gigilkan benak
sebab hati pernah di jinjing ke wajah kejora


Senyummu rajam dahaga
dari mentari melangkah pasti kembali bertanya
tentang rasa dan semua waktu
:bening mata hati


Bekal menghitam setelah hari-hari lembam
dari rindu kian bilur oleh dendam
menatap jauh ke alam-alam tanpa batas
memancarkan rindu yang risih


Adakah kau disana menyapa tiap senja yang jelang?
Aku disini memuja sepi yang selalu bertandang
rindu tak berarti apa-apa dalam pertemuan
:sia-sia


Seperti wajahmu;
menguap dan menjelma segumpal mega
terapung diatas pegunungan dan lembah ngarai
hingga jumpa angin sepoi basah
jatuh ke tiap hela jantung sepiku
bergabung bersama aliran anak-anak sungai
kembali sesakkan pikirku


Lalu malam menguncup hari
telah ku setubuhi keluh palung hasrat kerinduan
itu lebih getir dari pada melodi absurd apapun
dan aku gelepar di ujung bisu pualam
tercabik ketidak berdayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar