Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Rindu Terpanggang Tungku


Musim semi kita gadai ke cawan gerhana
merajang dahaga di altar kata dalam pematang sunyi
lalu menutupnya dengan kunci yang kau bawa pergi
dan memaksa sajak tanak di tungku telaga sepi

Sesekali terbakar jejak oleh paras waktu
melumat eraman hati luber dalam lembaran sendu
cecer menyesak tersedak onak berlumur debu
saat kau bilang;
"Rayulah aku..."

Sejenak kelakar ku seduh puisi semak merindu
ketika putik ilalang di kolong senja menggelinding
gemerincing serupa batu ke ranjang tidur
sambil beronani memanjat dinding-dinding malam
agar dapat memetik bulan dan biru kejora

Belum sempat ku eja kata yang hendak terangkai
bahasamu merah membakar tungku
terpanggang puncak klimaks hingga retak
di kepundan meredam gejolak magma menjadi abu

Dalam hati ku bisik pada jejak belantara dedaun pucuk akasia;
"Pandai kau menjilat rentang jarak dalam gerhana rindu yang ku cumbu,
serta lalu membiar ku mencium kesalahan sendiri"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar