Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Senja Yang Lupa Merindu

Setelah sisa-sisa kemarin berlalu
:jelaga lirihmu di telaga ishtarku
melewati musim
meninggalkan irisan wajah gerhana
dalam ketelanjangan misteri
dan rahasia kasih

Getar halimun sebelum prahara menderap, kulihat
matahari menghitam dengan keberdayaan lemah
wajah senja lelah dan dahaga di tanah basah
serta anak-anak hujan menari dikepala
dengan denyar jantung berkeringat
menoreh kelopak bulan yang sujud
:memohon

Anginpun menukilkan putikmu dengan kerinduan
menembus julang jarak ruang dan waktu
yang terpaku di tembok-tembok tua
menitikan lembayungnya membentang lazuardi
sebab penantian mengelukan jiwa

Kita lukis kembali nabastala
menarik sauhnya menuju gugusan
kecapi garam bahari
saling memandang kedalaman diri
sambil mengeja rahasia-rahasia hati
dengan tatapan ganjil
namun jauh dari huru-hara kefanaan
tempat kematian memeluk kehidupan

Dari Langit Yang Menjadikanku Hujan

Memandang dengan tatapan ganjil
pada jejak kisah mencari wujud mimpi
dahaga dengan secawan anggur
menelan duka berlaksa noktah

Geliat rahim aksara penuh hasrat
ketika gagak mematuk gemintang
gigil bersama musim gerhana berkabut

Wahai, rindu yang kemana
di pematang kutitip berlaksa kata
agar angin mengirisnya di ujung purnama
hingga jua ia rasa

Lelaki Hujan

Dari langit yang menjadikanku gerimis
kala senja memeras kerinduan
dan gairah cinta
lalu membakar malam dengan hujan
membinasakan waktu dan ruang

Kerinduan

Hujan merangkul gelap
lekuk malam tak bersekat
angin kental berjingkat
rindu berdenyar gagap

Hujan Petang

Senja melarut basah
burung-burung pulang
kembali pada malam mematuk gemintang
bersetubuh lengang dan pengang

Kotaku

Ada sesak di sini
nafas pribumi
:tuan rumah tanah yang asing
perut mengais tumpukan sampah

Membakar Malam

Boleh saja kulipat malam
selipkannya disenta jendela
agar burung-burung bersarang
mematukinya dengan paruh fajar
:surya kembali membakar

Kepada (Jam Dinding)

Malam terajam dilegam waktu
kelopak-kelopak bunga mekar
dari urat nadi yang terpenggal
seperti rela dengan lambaian lalu
menarik sauh menuju segala gugusan
melayati jazirah dengan sayap-sayap mega

Dan derit detak samsara
mengirim sebuah pembunuhan pada gemintang
:menembus ruang waktu
serpihkan dingin dengan segala tarian
menggalah dinding-dinding malam
merebut kehendak purbani
namun hanya ada ratap dan doa-doa

Seperti Kita (Yang Pernah Mati)

Bagai bocah bertelanjang dada memanja hujan
berebut mainan putik-putik bunga matahari
sebelum tanda mendung menggelegar badai
:biaskan titian sinar pelangi impian
dengan menyihir candu-candu di tangan

Bicaralah
dan tertawalah semaunya
atau setidaknya marah
saat kuajak kamu ke awan hitam
bubuhi bintang jadikan hiasan legam

Seperti cinta yang tak perlu mimpi-mimpi
seperti janji yang tak butuh berlaksa kata
seperti api yang tak padam oleh air
seperti apa sajalah
ketika sakit hilang puaskan dahaga keinginan
seperti kita yang pernah mati

Masihkah (Rin)

Rin,
Masihkah ingat pada tapal senja yang lirih
ketika kita memecah tembok-tembok pengertian
mengiris airmata dan keringat dalam kecupan dikening
serta menanaknya dengan ikatan batin terdalam

Masihkah ada gugur dedaunan menghitung jejak waktu
ketika senyummu menyeka pundakku dari cambukan matahari
ketika wangi tubuhmu menunggu pulangku dari mendulang hari
ketika malam-malam kita genangi dengan aroma gelora kasih
lalu memanja pada gemintang yang tak lelah mengintip
dan semburat purnama mendulang gairah pada jiwa

Lihatlah, rin
Bukankah kita telah membaca ikrar dengan berlaksa aksara hati
meski tepar arungi gemunung serta lembah-lembah
:membelah langit dan samudera
menampar-nampar wajah waktu tetap sadar
memastikan sauh biduk tak sia berlalu