Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Bukan Gombal

satu di pabrikan gudang senjata
lain satunya tergeletak di dapur saja
antara mesiu dan pisau bagiku tiada beda
begitupun di kau
yang menyeretku dalam gejolak
membekam hasrat kasihku di mata pisau
sekaligus keharusanku membenci terhadap perang

sketsa Duka

I
entah dari mana untuk mengetukkan langkah
membuka saja lebarlebar pintu itu
atau menghapus cerita di sebalik jendela
musim di luar pagar  menebalkan debudebu
melucuti jalanan yang kuraba kelu
aku, terlanjur menyintaimu

II
berkali aku mengurai lintas empat purnama
menanak setiap kesaksian
membekam kata yang berkelebatan
mencaricari arah makna tujuan
yang dari dadamu bermula laut bermuram durja
sekonyongkonyong menggulungku ke sebak belantara
: lukaku diam tanpa darah
aku terlanjur menyayangimu

III
kerikilkerikil kusingkir
kabutkabut kuusir
jejakjejak luka kusisir
dari hinanya nuthfahku pula mereka lahir
pintupintu serta jendela ini kubuka untuk sudi kau mampir
duka perlahan kulipat ke palung paling sepi
peraduan yang juga pernah kau mahkotai
yang pernah kau sanjungi
yang pada waktunya kelak mengilhami

Kalah



angkuhmu bangga dengan pengembaraan
menebalkan debudebu di lembaran ikrarmu
lampulampu kupadamkan
pergilah bersama angin!
jalanan menuju rumahmu telah kuputar haluan