Terjaga dalam malam
setelah kau meninggalkanku
dalam ritual pertikaian seperti biasa
Merupa kata-kata
yang tak lagi berarti apapun
Bagaimana tembikar senja menghantar lelap
ketika kita berucap 'selamatmalam'
lalu meretaskan kesunyian yang kian menebal
dengan pisau di tanganmu
Kita dan mereka
telah meretaki dinding-dinding beningnya hati
hingga menyerpih retaknya oleh belati ego
Segala kepercayaan
telah ku letakkan dalam genggammu
Sebuah alasan
mengapa aku masih bernafas
menghirup sisa cinta kehidupan
Fajarpun datang menyentuh pagiku
dan percaya
dengan membiarkan segala hal yang sama
pasti akan berubah
Katakan padaku
mengapa aku harus berusaha lebih keras
untuk tetap tegak berdiri
Sebab kukira
sayap-sayap kesepian telah merengkuh
mencium serta mengkultuskanku
menjadi salah satu bagiannya
(15092010)
Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)
Telaga Di Ujung Belati
Label:
Perjalanan,
Tentang Cinta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar