Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Aku Tak Sendiri, Sebab Sepi Bersamaku

Kesunyian yang di bangun dari puing-puing tumpukan batu
berlumut di dinding-dinding malam
mengendap pada waktu yang terus menanjak
menjulang hitungi jejak dalam isyarat perjalanan panjang

Gemintang tak tumbuh pada langit kerontang
sedang detak-detik telah lenyap ke balik bumi
hanya ada unggas-unggas malam saling bermesraan

Terbaca di dada bayu
kebisuan pekat senja merah dan hujan masih basah tertahan
lalu menjadi saksi jalan-jalan berputar
seperti kata-kata
pada malam-malam meregang gigil dan menciut


Tapi surya tetap membara bumi
ketika mayat-mayat tegak dari kematiannya


Semua dalam kesunyian ini
tersusun dari puing reruntuhan dan kebisuan pintu-pintu
lorong-lorong gang dan ruang tak berujung


Kesunyian menghitam pada patung dan menjilati kalimat gelap
tapi senantiasa di baca masa dengan matanya gemeretak
memilihku menjadi salah satu dari temannya

(11 Oktober 2010 jam 15:37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar