Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Tembang Bandhosa*

Gigil tinta merah di rahim pena urban sang petualang darwin
dari puncak-puncak gunung utara dan akar-akar belantara hijau
menjadi taring-taring industri ahengkara hutan-hutan beton
lalu cairkan lembaran acitya menggandeng peradaban
sembur bisa puja puji iklan berbusa pada suku-suku pedalaman

Mencabiklah taringnya
Merobek
Bopeng catra langit hingga marut wajah-wajah musim
membuncahkan serpihan didih gelombang bahar menjadi bah dan tsunami

Menguap angin yang berbisik tarian pucuk-pucuk dedaunan
pendar mantra-mantra sakral suku pedalaman
retak kerontang wajah bumi
sapu jemaah penjuru airmata jiwa yang tereleminasi
dalam regang raga tembang bandhosa


(ES-11082010)
*Selamatkan Bumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar