Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Masihkah (Rin)

Rin,
Masihkah ingat pada tapal senja yang lirih
ketika kita memecah tembok-tembok pengertian
mengiris airmata dan keringat dalam kecupan dikening
serta menanaknya dengan ikatan batin terdalam

Masihkah ada gugur dedaunan menghitung jejak waktu
ketika senyummu menyeka pundakku dari cambukan matahari
ketika wangi tubuhmu menunggu pulangku dari mendulang hari
ketika malam-malam kita genangi dengan aroma gelora kasih
lalu memanja pada gemintang yang tak lelah mengintip
dan semburat purnama mendulang gairah pada jiwa

Lihatlah, rin
Bukankah kita telah membaca ikrar dengan berlaksa aksara hati
meski tepar arungi gemunung serta lembah-lembah
:membelah langit dan samudera
menampar-nampar wajah waktu tetap sadar
memastikan sauh biduk tak sia berlalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar