Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Agh!

Tatapku merogoh-rogoh, menangkap lekuk wajahmu
terpahat-pahat di kamarku
agh!
rinduku gema mendaki malam

Menjual Omong Kosong

Pada bahasa serupa nyanyian di atas arang
terbusunglah lidah
:gaung tempurung dalam rawa
sepanjang tayang di atas panggung

Namun garang api tak cukup padam
oleh kemanisan liur yang melahirkan kata
karenanya gelap beratusjuta pundak tak cukup ringan
oleh gelintir tepuk gempita ke balik meja

Sepantasnya musim yang hujan-panas
menirus ceruk tuannya
yang dulang bumi; mengunyah cakra manggilingan
yang bertahta di langit; pulang ke liang abadi
dan aku yang tua sais pedati di abad humanoid
menggerus berkilometer silau petangnya jalanan
senggamai wajah-wajah bacin penghuni batu
di bumi yang senja

Aku, Kau Dan Mereka

Sering aku terpasung asing
di antara desak jamuan jaman
yang mabuk beradu gaduh kemanisan

Aku
kau
dan mereka
mimpi-mimpi
lintas hamburan dari pintu-pintu langit
nuju ranjang bumi yang sebentuk entah
saat nama-nama menjadi bisu
digores batu yang tinggal makna
saat kaki-kaki pulang
halau kelopak-kelopak kemboja
yang usai di garis tangan

Sisalah rerindu gugur terbawa musim
jadi ingatan di mata dan hati
menunggu
:tiba akan masaku nanti

Perjalanan

Di laut yang mengerang ombak
sekali pasti bentanglah pantai
mengulum getar getir dalam senyum
repihkan ratap angin dan tangis hujan

Persinggahan demi persinggahanpun tirus
memikul peluh peputik airmata
rahimi benih-benih mimpi

Tak perlu sangsi Sang Kala
menggerus keluasan sabar
di batas nantinya tiang-tiang purna
merupa ruang-ruang, dengan benderang
:ranumkan musim petik
mengisi piala-piala hati
serta ladang-ladang jiwa

Kupuisikan Kau


Tak perlu kau urai
serpih jejak-jejak yang retak
setubuhi mimpi panjang airmata
merupa tadah telaga maha rindu
yang belum purna jadi perantaranya

Mengalirlah malam
jangan dipertanya batasnya sunyi
kupuisikan pengantin jiwa
dengan hati telanjang
serupa palung paling hening
menggapura di merahnya fajar

Hanya Ingin Kau tahu


@ : Rina

Aku dan kau tahu
di balik derita akan mendulang bahagia
sebab ku tahu
telah kita warisi padang-padang dari para moyang
sejak terhukum turun ke bumi
dengan berlaksa warna suka duka citanya
agar kau tahu
juga tak sebatas kata-kata
yang melesat-lesat dalam ingatan
keihklasan yang kuberikan



Ramadhan Di Taman-Taman


Ada suka cita
di pematang batu-batu taman
menunggu tetabur
berlaksa embun dahaga
gulir dari rindang tengadah
para handai taulan
bekal penghuni tanah-tanah merah
nuju perjalanan kembali
ke pintu-pintu keabadian

Ranting Patah


Tergulung sauhmu nuju seberang melambai pantai
merajang laut yang kita bekam
:suka-duka cita

Hempaskan layar di ranting, aku
berlaksa gelombang
mengambang tiang sakral hendak terajut
kusut
meski telah kusimpul aral
ketika cemburu kekunang mencuri mimpi-mimpi

Namun kaulubangi dada
menujah berkali dan lagi
hingga mengalirlah
jauh; tak akan pernah kembali lagi