Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Yang Akan Pergi

Udara yang mengeras terasa gegap
diarak-arakan nyanyian ombak
melindapi segala lintas imajinarium
tembangkan irama-irama masokis
teraduk sarat keluh di benak
risih terbelenggu gempita candu
akanmu lentera atma

Sebuah Kenang (Yang Hilang)

Malam payungi matamu teduh
di antara kelopaknya hening
yang pernah kecup panjang kubenamkan
menembus sunyi dengan doa
ke jantung sukma
membungkus hasrat purnamu di dadaku

Jum'at Yang Tercoreng

Langit-langit siang di kubah
menirus hitam dari anyirnya merah
dentum membredel shaf-shaf jemaah
toreh wajah-wajah umat yang jengah
amoral di otakmu juga harus dibedah
jangan linglung hama melanda
ulat-ulat bulu merajalela
tuntut runutkan cermin pada wajah
lintangkan di buana nirmala nan senja

(Jum'at berdarah mesjid mapolsek Cirebon / 15-04-2011)

Skeptis Malam

Malam-malam di desa sini
pasar-pasar malam hiburan murah meriah
jajanan bakso barter buah dada
kubah-kubah surau penuh sarang laba-laba
ruang-ruang berpinak segala serangga

Malam-malam di kecamatan sana
cerlangan rumah-rumah busana pinggir jalan
besar kecil tutup sejari dari selangkangan
rumah sekolah serta maktab
tempat tinggal buku-buku pelajaran

Malam-malam di ibukota mana
kedap kedip lampu-lampu megah
payung rindang segala ada
teteki mayat-mayat hidup
dengan monyet dan serigala
para urban nonton debat kusir
pejabat dagelan dari penjara

Lantas
orang-orang gila sorak sorai
berkejaran saling telanjangi dengan tudingan
membakar terbakar amarah
moral mengendap desingnya di tempurung

Skeptiskah mataku dengan negerinya siapa?

Lentera Atma

Dimana angin bawa suara
datang untuk lalu hilang
kemana mentari menjaring dadamu
:palungnya laut
yang tiap detik purnamanya masih mengambang
pingit jiwaku diperkosa sunyi
hingga bias embun di ujung daun
retas sungsang menjadi dendam
pada saling silang sulaman
piala-piala anggur kita yang retak redam

Sungguh
tak pernah terbayang
membawa wajahmu kemana-mana
bahkan di tempat-tempat sesak
penuh benda-benda bernama
menjejak yang tak ada pulau-pulau
ataupun kota-kota dalam peta
menghamili rindu di lipatan kantung mata

(Berlaksa kata membeku di leher pena
menunggu ditimbang bimbang pada lentera atma
yang menanak gugus gemintang di langitmu
kulagam ulang gemeretak ranting meminang hening)

Pujangga Belia

Warna-warna pelangi bertitian
bertandak kidung-kidung suka cita
di arak-arakan gemawan
melayang-layang di padang-padang luas
segala benda serupa kuil suci
di langitmu menjadi keramat
:tunduk dalam damai

Angin sepoi mimpi-mimpi sang juara
dari kelokan aliran sungai yang berlompatan
Ketika musim silih berganti
pepuisi memahat daun-daun lontar
mengapung lembut di dahi alurnya
bermuara ke samudera hening bening
dan kala kemanisan menemu penyakit
antara daging dan tulang
hanya pada masa terlewatkan
rasa sakit memberi kekayaan
dan penderitaan membawa pengetahuan

Keagungan langit yang mengunjungi belia
dengan dahaga serta lapar melindungi cinta
karunia berharga kenikmatan surgawi
:kehangatan ciuman dariNYA.