Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Yang Diam-Diam

arimata sebening mataair
tercurah-menelaga
menguap terseret angin
menampar tampar asin-getirnya laut
ombak menepi
menghitung pasir di bawah mendung
tapi titik masih janin di rahim bulan
berkerut pelupuk hari direnggut dendam
rindu yang sering diam-diam menikam

Takutku

Aku takut mencintai dunia
ketika pun telah terlanjur
rapuh jiwa butah arah
O harta, yang menginstankan kepayahan
O tahta, yang menjedakan bilik-bilik kasta
di tanganmu pilar-pilar nadir samsara
O dunia, sarang penuh ular-ular berbisa

Selalu Saja


Selalu begini
saat runcing kaki-kaki hujan memahat tanah
genangnya luberkan gelegar terpendam
bingar lapar yang tertahan dalam-dalam
:menyicil bulan mekar bersandar, ke dermaga suar

Selalu begitu
lindap diam-diam tanpa kalam
lampaui makna palung paham
akan luka pada cita
akan getir yang bermadu sotya

Ah, selalu saja
ketika disergap sendu
ke dalam sedalam-dalamnya rindu

Munafik

Maka kuberi kau kaca
memisau gurat di wajahmu tersedak dusta
sebelum kata-katamu bacinkan ludah

Waktuku Pada Tuhan

Waktu adalah fitnah
kitari jisim yang nafsi
maka atas nama demi masa
tuntun kecilku dengan Al-HafizhMU
yaa Raqiib

Gali Tutup Lubang

Matahari netek di dada siang
pecut bebulir peluhku
lusuh di pundak, meniti ke pintu-pintu langit
merangkak dari lubang-lubang
nambal dengan lubang
hingga Ar-Rozaq cukupkan batasku