Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

PUING


  I/
Separuh bening wajah langit retak lelehkan hujan
menyapa kebun yang jenuh pada tanah meratap

Melewati kangkangan samsara duduk berdinding pengasingan
merenungi ratapan angin dan rintihan musim demi musim
dari jendela ke batas lembah-lembah ngarai;
tumpukan-tumpukan batu
serta reranting pohon tanpa daun terberai badai
menjelma jumlahan luka tanpa basuh
menusuk
serta angin mengeras

II/
Purnama luruhkan kabut di tanah basah
menyapu detak detik kebersamaan gugur dalam kesunyian
Dingin mengundang kelebat baying
mencibir dari birunya lautan
duduk merelung di sebuah pilar pualam
melepas pandang reruntuhan istana
ku bangun dengan tetes peluh dan airmata;

"Inilah sisa-sisa abadi untuk dapat kau pahami ;
tempat ku curahkan segala daya kelemahan
merengkuh terang cahya gemintang,
tempat ku lukiskan pemahaman akan segala kehidupan,
ketika bidadara-bidadari bergembira menari
dan bernyanyi irama kasih dan kerinduan,
meski manusia mendengar serta melihat tembang hymneku.
Dan pada sang waktu
yang begitu culah melebur remehkan segala usaha,
kutenggelamkan kekosongan
sisakan zarah cinta untukku.
Namun jauh di palung altar hati,
kan ku bangun perjamuan ishtar oleh kesucian abadi.
Serta mengeja kebijaksanaan dan kekuatan
dari kelemahan sejumlah kesalahan."

Malampun pulang menunggang angin
dengan lembaran buku hati ke pintu fajar
Rebahkan layang di pinggang bulan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar