Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Merah Gerah Yang Pecah

Amarah menggelegak merah
mengabut diam ruang dada
seperti larva perut merapi
menunggu tanah bumi berguncang

Kala kini santun tak kau hatur lagi
dari lempengan bibir
ceracau tak tentu ritma
lidah mencibir diri pada kebiasaan
mengoyak jala ruang jiwa
yang sendiri tersisihkan

Gerah,
merah pekat menghitam geram

Muntahlah sudah bebatuan api
dari panggangan ruang yang diam
paksa ku hentakkan akar bening rasamu terdalam
pecah bergelindingan amarah
menyapu teduh rumah cengkrama
hingga ruah airmata
tersedak merah kau guncangkan wadahnya

Dan di senja ini
biar kulesatkan menembus ruang luar
menuju awan menguntai kata
dari airmata yang terbuncah

Menitipkan pesan di pintu kerajaan malam;
"Ku mohon, biarlah ini menjadi yang terakhir kali,
kerna setan baru saja bertepuk girang."
Tentu penyesalan adalah cermin dari lembaran yang terkoyak

(ES:04082010/17:15)


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar