Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Jisim-Jisim ( i )

Ialah tirai yang menyelubung
bersekat-sekat wadahnya keluh
dari getar getir kebendaan
mencercapi rasanya cipta rasa
dari tiap-tiap sisi penjuru angin
telanjang dan mabuk di bawah matahari
bagai lebah-lebah tabuhan menggelantung
antara langit dan bumi
tak nyaman pada rasa sakit
susah mengisi kantung-kantung jubah

Di jalanan panjangnya wajah samsara
penuh warna dan isi
hitam geramnya amarah
merah mencongkak angkara
kuning yang memburui jengkal tanah
sementara nugraha menjelaga
berisi hening dibekap bisu
Aku!
masihlah dungu

Hari Ini

Pada hari ini
tia-tiap tahun pikiran renungan
dan kenangan saling berdesak dalam jiwa
yang berjalan mengitari matahari dalam hitungan
namun tak pernah tahu berapa kali sudah purnama gugur
mewujud hantu-hantu malam yang telah lama mati
bangun dan berdiri tegak dalam iring-iringan hari yang lewat
lalu berpencar bersama angin musim
tergulung gemawan yang tersesat pada senjakala
mengecil dan menjadi redup di labirin hati
:nyanyian arus di lembah ngarai yang sunyi dan jauh

Pada hari ini
tia-tiap tahun pikiran renungan
dan kenangan itu memberontak di hadapanku
sebuah cermin buram dan pucat pasi
dengan roman wajah berkerut dari gairah harapan
Kesedihan bisu yang lebih manis daripada kebahagiaan
yang berbisik lirih:
Penderitaan yang bertumpuk-tumpuk
adalah rasa sakit yang teramat nyeri
namun kesabaran takkan membutakan diri sendiri
demi meneruskan rasa sakit

Lantas kutoreh pada kalbu
dengan kata harap yang sederhana
sebab kau bersemadi seraya tetap menguasai kedamaian
sambil tetap merasai kegetiran




Padamu Lentera

Bacalah pada gugur jejak lampau
cermati dalam renung yang lahirkan ruang dan waktu
ketika tegarku tanpa daya
menggumuli sakit, menopang kian sekarat
tapi tangan yang pernah mengelus peluh, borneo
terbungkus oleh ingin yang menjarakanmu
menjemput gemilang di ibukota
meski kau tahu bahwa kita tak sendiri
:jika kau kembali
dan aku pun tersungkur
memaksa kembali ke ranah rahim dalam pesakitan

Andai saja kita memaksa kehendak
dengan apa kusemati manik-manik gemintang di tubuhmu
dengan apa kuimami darah yang membenihkan bayi-bayi mungil
dengan apa kupagari rumah kita dari cibir hari-hari
sementara jatuhku dalam ketiadaan
dan kau menujahku

Lantas mengendap api dalam tungku-tungku waktu
gelombang laut di dadamu selalu memerah
menghempas-hempas heningku yang mengeram musim
namun bara di benakmu merajam cawan-cawan anggur
menggali jurang menjauh ke dalam lembah-lembah ngarai
berdiri memungut peluhmu di tanah Kaohsiung

Rasalah Sayang

Rasakanlah pada udara yang mengeras, sayang
ketika angin mengarak mendung dari pintu langit
menggarami laut di dada kita
meratam ketam air mata
terkuras dalam lembah-lembah ngarai

Rasakanlah pada lembabnya udara, sayang
ketika hujannya menggenangi ladang-ladang
jalanan setapak berlumut, di sana-sini
membuat waktu yang tertumpuk rindu
sering gelincirkan rerantingan
tepat ke ujung belati ragu
yang tajamnya lebih panas dari matahari

Rasakanlah pada udara yang lepas, sayang
ketika Tuhan mencukupkan kelamnya kegetiran
pada sepasang merpati terbuang dari nirwana
mengukur jengkal tanah dengan luka
pada kita yang akan mengusir hantu-hantu
sepanjang arsiran watu

Rasakanlah pada udara dingin, sayang
ketika kutanamkan kecupan terdalam
pada dua kelopak matamu yang mengulum hening
menciptakan lega ke pintu fajar

Bidadari Hati

@untukmu Yan

Aku temukan dirimu
di antara puing dan bertembok batu
kini, dengan nafas terbakar rindu
dari gairah terpendam jejak semu

Membunuh Sepi

Adalah jauh malam
dengan cerlang biru gemintang
soneta ranting mencari angin
berputar dilangit dan bernyanyi
membajak kunang-kunang menari
mengikatnya dikerindangan pematang

Lelaki Hujan

Dari nabastala yang menjadikan gerimis
ketika senja memeras kerinduan
dan serta gairah cinta
merupa karang di telaga
lalu membakar malam dengan hujan
membinasakan waktu dan ruang

Kerinduan

Hujan merangkul gelap
lekuk malam tak bersekat
angin kental berjingkat
hilir mudik rindu berdenyar gagap

Kotaku

Ada sesak di sini
nafas mega-mega dari darah
dan gemeretak belulang pucat pasi
:tuan rumah ditanah menjadi terasing
menjuntai perut mengais tumpukan sampah

Hujan Petang

Senja melarut basah
burung-burung pulang
pada malam yang mematuk gemintang
bersetubuh lengang kembali pengang

Membakar Malam

Boleh saja kulipat malam
selipkannya disenta jendela
untuk burung-burung yang bersarang
mematukinya dengan paruh fajar
agar surya kembali membakar

Kurcaca Latah

Penipu bernyanyi
hati batu sang penipu mati
seperti hidup para zombi
berdiri telanjang di bawah mentari

Pemulung Malam

Hujan merangkul malam tak bersekat
angin kental berjingkat
debu-debu berdenyar gagap
sepanjang jalan purbani pengap

Ku temui hasrat
bangun diantara mayat-mayat
berlarian telanjang bulat
dalam kotak otak arena
:tanah babad

Luka-luka hambur mengangkang
dari lendir selangkangan
dari dengus nafas keserakahan
dari ketuhanan yang menuntut hak
dari luka pertiwi yang tengah dirajam
"Kenapa tak ludahi saja perbudakan?!"

Jika

Di udara yang basah meraba
kala kerucut waktu terketam
pada semburat batharagana penuhi ruang
dengan lekuk batharimu undang gelora
menggapura di lentang ranjang

Jika dapat waktu bersayap
melipat jarak menjurang
lantas kureguk aroma hasrat
yang tumpah mencandu
:gila merindu
padamu

Merajam Malam

Sejuta bayangan mengendap
menyergap dalam diam
seribu lolongnya bergema
meniupkan ombak di kening
dan rambut yang memuja maut

Cuacapun merontokan dedaun
anak-anak angin membelit
menghitung angka-angka
ke belakang, ke depan
kosong
dan kosong
mengheret kejayaan suram