Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Serpihan Cermin Gerimis

I/
Rintik gerimis pekat
pecah ditanah tak berjedah
kentalnya menggenangi angin basah
senggamakan rahim tanya, menguliti malam
mengiris dari endapan tungku
dengan dingin yang menghunus

II/
Secanting lilin diseberang ruang
leleh mengerucuti waktu, hampir padam
lingkar api berkabut kemelut
menyulut sketsa senja yang berbenah
ditepian padang
:ilalang menepis mega jingga

III/
Ini kali jilid hati menghujat musim
bukan pada rindang pematang, terjaga pengang
bukan dari arus anak-anak sungai menghilir
bukan pula pada relungnya gemunung

IV/
Getirnya ranting terhimpit langit
saat gugusan hari mengurung dalam gerhana
kusut serpihan cermin luber dibibirmu
mengoyak jiwa hening
:kupinang sebagai pengantin fajar
setelah malam merapikan embun purnama, diwajahmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar