Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Biar II

Biar ku leleh dalam warna langit dan bumi menguncupi samsara
mengeja pesona putik-putik cakrawala dari kelopak dan tangkaimu
semburatkan lembayung nian manja
pada sapa burung-burung melintas serta bersarang dimayapada, mencari bebijian hati

Kan kupandangi pesona masokismu menarikan tembang smaradhana di ladan-ladang hari
mungkin paruh-paruh yang menyulam matahari dan bulan
serta gemintang dari pintu-pintu nabastala
kan menjamu denyar ishtarmu dengan kemanisan sekendi anggur
cerlangkan lengkung bibir, merona merah pipi

Dan biar jelagaku berkerudung hening
merayapi gemunung dan lembah-lembah paling sepi
menggoreskan kenang dengan doa-doa sederhana, pada tebing-tebing batu
Mungkin pula temukan lentera bayu menuntun
melintasi langit dan membelah debaran samudera

Maka, biarkan rahim aksara tak terbitkan kata
sebab bahasa yang sungsang dibibir kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar