Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Padamu Lentera

Bacalah pada gugur jejak lampau
cermati dalam renung yang lahirkan ruang dan waktu
ketika tegarku tanpa daya
menggumuli sakit, menopang kian sekarat
tapi tangan yang pernah mengelus peluh, borneo
terbungkus oleh ingin yang menjarakanmu
menjemput gemilang di ibukota
meski kau tahu bahwa kita tak sendiri
:jika kau kembali
dan aku pun tersungkur
memaksa kembali ke ranah rahim dalam pesakitan

Andai saja kita memaksa kehendak
dengan apa kusemati manik-manik gemintang di tubuhmu
dengan apa kuimami darah yang membenihkan bayi-bayi mungil
dengan apa kupagari rumah kita dari cibir hari-hari
sementara jatuhku dalam ketiadaan
dan kau menujahku

Lantas mengendap api dalam tungku-tungku waktu
gelombang laut di dadamu selalu memerah
menghempas-hempas heningku yang mengeram musim
namun bara di benakmu merajam cawan-cawan anggur
menggali jurang menjauh ke dalam lembah-lembah ngarai
berdiri memungut peluhmu di tanah Kaohsiung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar