Aku sering tersenyum dalam diri, yang bahkan jauh tersimpan di bilik jisim buruk ini. Tersenyum dengan segala getir kodrat, dan tak seorangpun mungkin tahu betapa ironi menjalani hidup. Aku tersenyum, seakan aku tercipta bukan untuk berbuat lain, selain tersenyum. Namun ‘Maaf’ merupakan kata jitu yang mampu luluh lantakkan, bahkan lukai rasa, memaksa bungkukkan kepala dengan malu dan kagum di depan ruh mulia yang merendahkan diri, dan memohon ampunan dari masa lalu yang pahit dan menggetirkan (Elang Senja)

Lentera Atma

Dimana angin bawa suara
datang untuk lalu hilang
kemana mentari menjaring dadamu
:palungnya laut
yang tiap detik purnamanya masih mengambang
pingit jiwaku diperkosa sunyi
hingga bias embun di ujung daun
retas sungsang menjadi dendam
pada saling silang sulaman
piala-piala anggur kita yang retak redam

Sungguh
tak pernah terbayang
membawa wajahmu kemana-mana
bahkan di tempat-tempat sesak
penuh benda-benda bernama
menjejak yang tak ada pulau-pulau
ataupun kota-kota dalam peta
menghamili rindu di lipatan kantung mata

(Berlaksa kata membeku di leher pena
menunggu ditimbang bimbang pada lentera atma
yang menanak gugus gemintang di langitmu
kulagam ulang gemeretak ranting meminang hening)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar